Sunday, May 27, 2007

Pentingnya supervisi pendidikan

PENTINGNYA

SUPERVISI DAN EVALUASI PENDIDIKAN

A. Latar Belakang

Dalam dunia pendidikan selalu ada supervisi di dalamnya. Apakah hal itu memang harus demikian? Bila memang supervisi itu diperlukan, apa sebabnya? Masalah ini akan diuraikan dalam makalah ini ini.

B. Pengertian supervisi

Sebagaimana telah diketahui bahwa tidak ada dua orang yang sama, apa lagi lebih dan dua orang, maka dapat dimakiumi bahwa rumusan tentang apa yang di maksud dengan supervisi berbeda beda. Para ahli di bidang itu memberikan pengertian supervisi dengan kalimat yang tidak sama, walaupun apa yang mereka maksudkan tidak jauh berbeda. Perbedaan itu seringkali hanya disebabkan oleh penekanan pada aspek-aspek tertentu dan super visi itu sendiri. Berikut akan dikemukakan beberapa pengertian supervisi dan para ahli.

Sergiovanni (1971, h.10) mengemukakan pernyataan yang berhubungan dengan supervisi sebagai berikut: (1) Supervisi lebih bersifat proses dari pada peranan, (2) Supervisi adalah suatu proses yang digunakan oleh personalia sekolah yang bertanggung jawab terhadap aspek-aspek tujuan sekolah dan yang bergantung secara langsung kepada para personalia yang lain, untuk menolong mereka menyelesaikan tujuan sekolah itu.

Dan pernyataan di atas dapat dikaji bahwa supervisi itu bukan peranan, tetapi merupakan suatu proses. Proses tersebut terjadi di sekolah yang digunakan oleh personalia-personalia tertentu untuk menolong para personalia yang lain dalam usaha mencari tujuan pendidikan. Para personalia tertentu itu mempunyai tanggung jawab yang lebih besar daripada personalia-personalia yang lain, dan mereka ini bergantung dan personalia-personalia yang lain itu untuk mencapai tujuan pendidikan.

Sebab itu dikatakan supervisi-supervisi merupakan suatu perilaku bekerja melalui orang-orang untuk mengejar tujuan-tujuan sekolah. ini berarti supervisi merupakan aspek organisasi manusiawi di sekolah tersebut, yang dibedakan dengan administrasi sebagai aspek organisasi yang non manusiawi.

Neagley (1980, h. 20) mengemukakan bahwa setiap layanan kepada guru-guru yang bertujuan menghasilkan perbaikan instruksional, belajar, dan kurikulum dikatakan supervisi. Rumusan ini lebih operasional dari pada rumusan pertama di atas. Supervisi di sini di artikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan kepada guru-guru dalam bidang-bidang instruksional, belajar dan kurikulum. Mereka bekerja untuk memngkatkan ketiga bidang itu dalam usaha mencapai tujuan sekolah.

Nilai supervisi ini terletak pada perkembangan dan perbaikan situasi belajar mengajar yang direfleksikan pada perkembangan para siswa (Marks, 1978,h,4). Perbaikan situasi belajar mengajar berhubungan erat dengan pengelolaan kelas. ialah suatu usaha untuk (1) menciptakan, memperbaiki, dan memelihara organisasi kelas agar para siswa dapat mengembangkan minat, bakat, dan kemampuannya secara maksimal, (2) menyeleksi fasilitas belajar yang tepat dengan problem dan situasi kelas, (3) mengkoordinasi kemauan siswa mencapai tujuan pendidikan, dan (4) meningkatkan moral kelas.

Dalam hal ini supervisi inerupakan suatu proses untuk mewujudkan kondisi-kondisi tersebut di atas, sehingga proses belajar mengajar menjadi berkembang, yang membuat prestasi belajar siswa semakin meningkat.

Supervisi yang merupakan bagian tidak terpisahkan dan administrasi dikemukakan oleh Jones (1969, h. 302) sebagai berikut. Supervisi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan seluruh proses administrasi pendidikan yang ditujukan terutama untuk mengembangkan efektivitas performan (personalia sekolah) yang berhubungan dengan tugas-tugas utama dalam usaha-usaha pendidikan. Jones memandang supervisi sebagai sub sistem dan sistem admimstrasi sekolah. Sebagai sub sistem sudah tentu tidak terlepas sama sekali dengan administrasi yang juga menyangkut personalia non guru. Namun titik beratnya adalah pada pengembangan atau perbaikan performan para profesional yang menangani para siswa sebagai obyek yang digarap oleh sekolah. Mereka itu adalah para guru, kepala sekolah, para petugas bimbingan dan konseling, para petugas laboratorium, para petugas perpustakaan, para petugas pusat sumber belajar, dan sebagainya.

Performan atau cara kerja mereka dikembangkan, agar usaha membimbing siswa belajar dapat berkembang pula. ini berarti proses belajar mengajar ditingkatkan efektivitasnya. Proses pengembangan cara kerja ini berlangsung di tempat mereka bekerja pada waktu jam kerja pula. Mereka tidak menerinia penataran dalam proses supervisi.

Robbins (1982, h. 332) mengemukakan supervisi sebagai suatu aktivitas pengarahan langsung terhadap aktivitas-aktivitas bawahan. Tetapi yang memberi pengarahan tersebut dibatasi hanya pada administrator terdepan saja. Sebab administrator terdepanlah yang berhadapan langsung dengan personalia sekolah yang me nangani proses belajar mengajar para siswa. Berarti pengarahan para administrator madia dan tertinggi tidak dikatakan supervisi.

Di samping itu Robbins tidak membedakan aktivitas pengarahan terhadap proses belajar mengajar sebagai tugas utama sekolah dengan aktivitas pengarahan terhadap pekerjaan-pekerjaan di luar proses belajar mengajar. Semua jenis aktivitas pengarahan administrator terdepan dikatakan sebagai supervisi.

Dan pendapat para ahli tersebut di atas dapat ditarik tiga unsur yang secara eksplisit maupun implisit ada pada rumusan rumusan pengertian supervisi itu.

Ketiga unsur itu adalah.

1. Unsur proses pengarahan, bantuan, atau pertolongan dan pihak atasan atau pihak yang lebih memahami.

2. Unsur guru-guru dan personalia sekolah lainnya yang ber hubungan langsung dengan belajar para siswa sebagai pihak yang diberi pertolongan.

3. Unsur proses belajar mengajar atau situasi belajar mengajar sebagai objek yang diperbaiki.

Pihak atasan yang mempunyai wewenang memberi pengarahan atau bimbingan kepada guru-guru tidak perlu terbatas kepada administrator terdepan saja. Semua administrator atau petugas senior lainnya dapat memben bantuan, hal itu bergantung kepada situasi atau kebutuhan. Proses atau situasi belajar mengajar yang menjadi objek yang diperbaiki dititikberatkan kepada situasi belajamya. Sebab dengan majunya teknologi pendidikan sangat mungkin siswa akan belajar sendiri tidak dihadapan guru, dia hanya berhubungan langsung dengan materi pelajaran dan perlengkapan belajar. Namun situasi belajar seperti ini tidak boleh selalu terjadi, sebab belajar berpenilaku sangat sulit dilakukan tanpa disertai guru.

Dengan demikian hakikat supervisi adalah suatu proses pembimbingan dan pihak atasan kepada guru-guru dan para personalia sekolah lainnya yang langsung menangani belajar para siswa, untuk memperbaiki situasi belajar mengajar, agar para siswa dapat belajar secara efektif dengan prestasi belajar yang semakin meningkat. Sedangkan yang melakukan supervisi disebut supervisor. lstilah pembimbingan mengacu kepada usaha yang bersifat manusiawi yang tidak bersifat otoriter. Yang dimaksud dengan pihak atasan di samping dalam arti hierarki, juga dalam arti kewenangan atau kompetensi dalam bidang yang di supervisi. Memperbaiki situasi bekerja dan belajar secara efektif tergandung makna di dalamnya bekerja dan belajar secara berdisiplin, bertanggung jawab, dan memenuhi akuntabilitas.

C. Hakikat individu

Orang-orang khususnya guru-guru dan para personalia lainnya di sekolah yang berhubungan langsung dengan belajar para siswa, adalah merupakan individu yang tidak sempurna. Masih banyak yang tidak mereka ketahui tentang dirinya dan lingkungannya. ltulah sebabnya mereka membutuhkan belajar dalam menjalani hidupnya. Mereka membutuhkan petunjuk-petunjuk orang lain yang lebih tahu, mereka mencontoh orang lain yang mereka kagumi, mereka bercita-cita seperti cita-cita orang lain.

Argyris menggambarkan ketidak sempuraan ini sebagai model pradisposisi. Yaitu kecenderungan manusia sejak lahir sampai dewasa dan bahkan selama hidupnya untuk meningkatkan kehebasan, kemampuan, keterampilan, dan pandangan. Kecenderungan inilah yang dimanfaatkan oleh Argyris untuk memotivasi mereka belajar dan bekerja (Hoy, 1978,h. 97). Bila individu diberi tugas sesuai dengan pradisposisinya, dia akan menggunakan energinya secara maksimal dalam menyelesaikan tugas itu.

Ketidaksempurnaan individu nampak jelas dalam pengamatan kita sehari-hari. Guru kadangkala keliru menjelaskan sesuatu kepada siswa-siswanya sebab ia kurang bersiap sebelumnya. Petugas laboratorium dapat keliru menyiapkan bahan-bahan praktikum dikemukakan di atas tidak banyak dapat diketemukan guru yang mampu bekerja dengan relatif sempuma yang pantas dijadikan contoh bagi guru-guru lainnya. Mereka masih membutuhkan bimbingan dan para supervisor, kepala sekolah, maupun guru yang lebih kompeten.

Problem dunia semakin kompleks, dunia pendidikan mendapat tantangan untuk mempersiapkan siswa menghadapi kehidupannya. Guru-guru tidak sanggup menghadapi tantangan ini sendirian. Supervisi nampaknya menjadi penentu yang utama untuk memutuskan kurikulum, menyeleksi pola-pola organisasi sekolah, fasilitas belajar, dan menilai proses pendidikan secara keseluruhan (Neagley, 1980,h.4).

Sifat-sif at yang sejalan dengan kehidupan berkelompok, antara lain ialah berkompetisi bergotong royong, bermotivasi karena pengaruh teman, bertanggung jawab dalam bekerja sama, dan sebagainya. Di antara sifat-sifat itu yang paling banyak perlu diperhatikan dalam supervisi ialah sifat bermotivasi. Pengaruh orang lain dalam kehidupan berkelompok untuk memajukan diri sangat besar. Secara tidak langsung individu membandingkan kemampuan dan prestasi dirinya dengan kemampuan dan prestasi orang lain. Dan basil perbandingan itu bagi individu yang berdedikasi terhadap jabatannya, akan menimbulkan usaha untuk meningkatkan prestasi.

Sifat mudah dipengaruhi orang lain bila dikoordinasi secara sengaja, akan terwujud lebih dinamis dan kondusif serta akan meningkatkan profesi. Sifat inilah yang harus dimanfaatkan dalam supervisi. Mempengaruhi para guru gar bekerja lebih baik dan giat, bararti meningkatkan motivasi mereka untuk menjadi guru yang baik. Hal ini merupakan salah satu tugas dalam supervisi.

Hasil penelitian Herzbei menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dapat berhasil inemotivasi individu ialah prestasi yang dicapai, penambahan pengetahuan, pekerjaan itu sendiri (yang menantang), tanggung jawab, dan kemajuan-kemajuan yang diperoleh (Hoy, 1978, Ii. 102). Di samping faktor-faktor yang dapat dimanfaatkan dalam supervisi untuk memotivasi guru, terkandung makna dalam hasil penelitian ini ialah individu secara kodrat memang membutuhkan perangsang untuk memotivasi diri dan luar dirinya. Supervisor perlu mengatur strategi agar faktor-faktor tersebut di atas dapat berfungsi sebagai motivator.

Bila personalia sekolah secara keseluruhan berhasil dimotivasi, akan membuahkan suasana sekolah yang lebih bergairah. Mereka akan bekerja dengan tenang, lebih tekun, tugas dan tanggung jawabnya dihadapi dengan senang hati, tidak mudah bosan atau putus asa, dan tidak menggerutu.

D. Supervisi dan perubahan kurikulum yang kontinu

Kehidupan manusia selalu berubah, meningkat terus, sejalan dengan perubahan zaman. Perubahan yang cepat ini terutama di sebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Hal ini menuntut penyesuaian hidup bagi manusia, terutama generasi yang akan datang. Selain dan penyesuaian diri, generasi muda juga dituntut agar dapat memahami, memecahkan masalah, dan mengisi kehidupan yang cepat berubah itu. Tugas yang kedua ini lebih penting daripada yang pertama, sebab mereka harus aktif, dinamis mengisi hidup ini, dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi yang telah maju tetapi dengan tidak mengguncangkan kehidupan masyarakat.

Untuk maksud tersebut di atas, generasi yang akan datang perlu disiapkan sedisi mungkin. Persiapan yang efektif adalah metalui pendidikan. Sekolah memegang peranan penting dalam nicinpersiapkan mereka. Sudahkah guru-guru siap menghadapi tugas yang berat ini? Apakah lembaga-lembaga pendidikan guru sudah mempersiapkan calon-calon guru akan tugas seperti ini? Bagaimana pula halnya dengan produksi guru-guru darurat di Indonesia, yaitu beberapa program Diploma yang diselenggarakan oleh IKIP? Sempatkah calon-calon guru ini dibekali misi pendiitkan seperti ini?

Guru-guru yang memiliki Diploma dan guru-guru muda masih perlu dibina agar dapat menyadari dan melaksanakan tugasnya untuk mempersiapkan para siswa responsif dan mampu menyelesaikan masalah-masalah hidupnya kelak. Salah satu bentuk pembinaan adalah dengan memberi supervisi kepada mereka. Supervisi nampaknya lebih efektif daripada pembinaan dalam bentuk penataran, sebab supervisi membimbing langsung para guru dalam aktivitasnya sehari-hari. Apa yang diberikan oleh super visor akan langsung dipraktekkan, kesulitan-kesulitan bisa segera dikonsultasikan dan diatasi, efek pelaksanaan menjadi umpan balik bagi aktivitas berikutnya, dan kepuasan kerja akan menjadi insentif bagi para guru untuk tetap bekerja dengan baik.

Bila kita baca Laporan Umum Hasil Evaluasi Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 1982/1 983 yang dikerjakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dapat dilihat kelemahan-kelemahan pendidikan itu antara lain (h. 21-23); (1) proses belajar mengajar masih berorentasi kepada guru, (2) materi pelajaran terlalu sarat, tidak hanya diberikan yang esensial saja, kurang memperhatikan segi praktis yang penting dalam kehidupan, (3) proses berpikir yang lebih tinggi dan pemecahan masalah kurang mendapat tempat, didominasi oleh pengembangan kognisi, kurang memperhatikan pengembangan afeksi, dan (4) pengawasan yang bersifat profesional dilakukan secara kurang intensif.

Kelemahan-kelemahan tersebut di atas dapat di kurangi dengan peningkatan dan pembinaan sistem supervisi. Supervisi yang baik akan dapat membina guru-guru mengembangkan profesinya melalui aktivitas-aktivitasnya sehari-hari. Supervisi memungkinkan guru-gum dapat umpan balik secara cepat dalam memperbaiki aktivitas-aktivitasnya, memotivasi mereka untuk meiungkatkan cara kerja terutama bila dikaitkan langsung dengan sanksi jabatan, proses peningkatan din akan terjadi secara kontinu sebab supervisi berlangsung secara kontinu. Perbaikan pendidikan melalui supervisi sekaligus akan dapat menghilangkan kelemahan cara memperbaiki pendidikan lewat penataran yang dikatakan dalam hash evaluasi tersebut di atas sebagai kurang efektif.

Sejalan dengan usaha memasyarakatkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di kalangan para pegawai dan masyarakat pada umumnya, maka usaha seperti inipun seharusnya terjadi di sekolah-sekolah. Bila guru-guru dan para pegawai ditatar P4, maka hal yang sama akan diberikan kepada para siswa melalui Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Yang menjadi masalah ialah bagaimana memasyarakatkan PMP di sekolah. Apakah cukup hanya guru-gurunya ditatar, agar dapat mengajarkan PMP dengan baik? Sudah dinilai bahwa penataran-penataran kurang efektif. Oleh sebab itu seharusnya dicari jalan yang lebih baik.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa para guru pada umumnya menekankan pengetahuan tentang PMP itu, tentang fakta-fakta yang ada di dalamnya dan tentang pengertiannya. Sedikit sekali yang berusaha meningkatkan proses pendidikan itu sampai kepada pengembangan afeksi siswa, sehingga para siswa mampu menghayati dan diharapkan mau melaksanakannya. Barangkali hal ini disebabkan oleh kesulitan melaksanakan pendidikan afeksi dan menilai hasilnya. Namun apapun kesulitan yang dihadapi, kalau hal itu merupakan tujuan yang dikejar, seharusnyalah dicari pemecahannya.

Usaha untuk mengatasi kesukaran melaksanakan PMP dalam segi afeksinya beserta alat evaluasinya dapat dipikirkan oleh para ahli kurikulum dan evaluasi. Hasil pemikiran itu sesudah diuji cobakan disampaikan kepada guru-guru disertai latihan-latihan simulasi. Tetapi mereka tidak cukup diberikan informasi dan dilatih satu atau dua kali saja. Aktivitas mereka melaksanakan cara mendidik yang baru itu perlu diikuti dan dimonitor secara sistematis. Bila tidak dimonitor kemungkinan besar cara kerja mereka akan kembali seperti semula, yakni hanya mengembangkan segi kognisi para siswa saja. Pekerjaan memonitor ini dapat dilakukan secara efektif dan efisien bila supervisi sekolah ditingkatkan.

Begitu pula halnya dengan pendidikan humaniora yang baru saja digalakkan sebagai imbangan terhadap pendidikan intelek yang sudah berkembang pesat, membutuhkan supervisi yang intensif. Materi apa sebaiknya diberikan, bagaimana cara membawakannya, bagaimana bentuk-bentuk aktivitas siswa, di mana mereka sepantasnya belajar, dan sebagainya membutuhkan konsep-konsep baru dan monitor yang berkelanjutan dan pihak supervisor.

Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) menginginkan agar para siswa mencintai bangsa dan negaranya. Penataran-penataran sudah dilakukan terhadap guru-guru dan para pembinanya. Mereka diberikan metodologi pendidikan sejarah yang baru, seperti bagaimana cara menghidangkan bahan pelajaran, memilih alat-alat pengajaran yang cocok dengan bahan dan suasana belajar, cara mengevaluasi, dan sebagainya. Pendidikan ini menekankan pengembangan segi afeksi para siswa, yaitu mencintai negara, membangkitkan semangat membela dan membangun bangsa.

Untuk menjamin apa yang mereka terima dalam penataran dilaksanakan di sekolah dengan relatif tepat, perlu diadakan pengontrolan dan pembinaan secara berkala. Yang bertugas membina adalah para supervisor bidang studi sejarah. Supervisor seperti ini bisa menangani beberapa sekolah yang berdekatan.

Tugas sekolah untuk melaksanakan konsep sekolah sebagai pusat kebudayaan juga membutuhkan pengawasan dan bimbingan yang kontinu. Sebab tugas untuk menyempurnakan situasi dan kondisi belajar di sekolah tidak ringan, lebih-lebih dalam keadaan prasarana, sarana, alat-alat pendidikan, dan fasilitas lainnya yang belum lengkap.

Sekolah sebagai tempat mengembangkan siswa ialah merupakan wadah utama untuk mengembangkan kebudayaan, yaitu dalam wujud logika, etika, estetika, dan praktika, sehingga para siswa terbantu untuk menguasai pengetahuan, mampu mengadakan pilihan dan berkomunikasi secara tepat, yang mengakibatkan terbentuknya manusia pembangunan, mewujudkan peradaban bangsa, dan manusia Indonesia seutuhnya. (Daoed Joesoef, 1982, hal. 9).

Selanjutnya dikatakan oleh Daoed Joesoef (1981, h. 5) bahwa kebudayaan, pada hakikatnya, adalah sistem nilai dan ide yang dihayati oleh sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu di suatu kurun waktu tertentu..

Sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu yang dimaksud dalam pemyataan terakhir sudah tentu bangsa Indonesia di wilayah Indonesia, sebagai konsep itu diciptakan untuk meningkatkan hidup bangsa Indonesia. Untuk meningkatkan hidup dimulai sejak masa kanak-kanak. Karena sekolah merupakan suatu tempat efektif untuk maksud tersebut, maka tugas sekolah menjadi amat penting, yang diperinci sebagai tempat untuk engembangkan logika, etika, estetika, dan praktika.

Yang menjadi masalah ialah bagaimana cara mengembangkan keempat segi pendidikan itu agar seimbang, integratif, dan timal. Sarana apa dan pendidikan apa yang tepat, metode mana yang dipilih, dan model belajar yang bagaimana yang cocok, adalah merupakan problem bagi kebanyakan guru. Problem yang ihadapi tidak berhenti hanya sampai di situ saja, melainkan tambah bila kita renungkan peringatan Koentjaraningrat (1982, 10) bahwa nilai budaya yang lama yang menilai tinggi hidup yang selaras dengan alam hendaknya tidak digeser dan ditinggalkan agar tidak timbul sikap seperti yang tampak di banyak negara yang telah maju, akibat industri yang berlebihan dan gaya hidup metropolitan orang lupa akan keseimbangan hidupnya dengan aman. Membantu para siswa untuk dapat mengembangkan budiya diri untuk bangsa dengan mengikuti kemajuan ilmu dan knologi, dengan tidak boleh meninggalkan kebudayaan lain yang dapat bernilai tinggi adalah bukan tugas yang ringan. Mereka, para guru membutuhkan motivasi untuk dapat melaksanakan tantangan ini, mereka butuh bimbingan dan perhatian terus-menerus.

Walaupun konsep sekolah sebagai pusat kebudayaan sudah diusahakan operasionalnya dengan ketahanan sebagai faktor penujangnya yaitu menciptakan kondisi dinamika di sekolah yang mengandung kemampuan dan ketangguhan dalam menghadapi tatangan dan hambatan yang datang dari dalam dan luar sekolah yang dapat mengganggu proses belajar mengajar dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, (Dardji D, h. 2) para guru masih tetap perlu didampingi oleh para supervisor pendidikan. sebab konsep yang baik tidak selalu menjamin pelaksanaan yang baik pula. Justru kesulitan yang paling besar dalam pendidikan adalah melaksanakan konsep itu, bukan membuat konsep itu.

Untuk dapat melaksanakan konsep dengan baik terutama bila konsep itu merupakan ide baru, membutuhkan pengertian dan penghayatan akan makna konsep itu, membutuhkan pemusatan pemikiran dan tindakan, serta membutuhkan pengorbanan dan dedikasi yang tinggi. Cukup banyak guru yang slap melaksanakan konsep ini, tetapi masih lebih banyak yang membutuhkan dorongan dan himbauan pihak supervisor untuk tetap melaksanakannya dengan baik.

Kurikulum berubah, secara kontinu dalam rangka mempersiapkan para siswa menghadapi kehidupan yang cepat berubah dalam zaman modem ini. Lebih-lebih kurikulum di negara berkembang seperti Indonesia, banyak aspek kehidupan yang belum mantap, yang membuat sekolah sebagai wadah pembina individu tetap mencari model-model situasi belajar dan cara belajar serta bahan yang lebih tepat, guna mengejar kehidupan yang lebih baik. Karena itu bermunculanlah kreasi-kreasi besar dalam pendidikan yang dicanangkan untuk dilaksanakan oleh sekolah-sekolah. Kreasi-kreasi yang inovatif ini jelas membutuhkan uluran tangan dan pihak yang lebih tahu terhadap guru-guru sebagai pelaksananya. Bimbingan, contoh-contoh, pengawasan dan motivasi sangat diperlukan dan supervisor secara terus menerus agar ide-ide besar di atas dapat dilaksanakan. Jabatan supervisor pendidikan di Indonesia perlu diberi perhatian secara serius. Mutu dan kuantitas pejabatnya perlu ditingkatkan agar dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.

E. Fungsi dan tujuan supervisi.

Istilah fungsi dan tujuan cukup sulit dibedakan seba seringkali satu objek dapat diterangkan dan segi fungsi dan dapat pula dari segi tujuan. Atau fungsi dan tujuan sesuatu dapat berup satu objek. Misalnya yang menjadi objek adalah tamu; tamu itu dapat dihubungkan dengan ruang tamu yang mempunyai fungsi dan sekaligus mempunyai tujuan. Ruang tamu sebagai bagian dari rumah berfungsi memberi tempat tertentu kepada tamu yang berkunjung di rumah. Sementara itu ruang tamu juga memberi tujuan agar para tamu mendapat tempat layak dan merasa senang bertamu. Walaupun sulit dibedakan, dengan bantuan contoh di atas bisa dipahami bahwa fungsi berhubungan dengan sistem (rumah sebagai kesatuan) dan tujuan berhubungan dengan apa yang ingin dijangkau oleh subsistem (ruang tamu) itu.

Supervisor sebagai fungsi, bila ia dipandang sebagai bagian atau organ dan organisasi sekolah. Tetapi bila dipandang dan apa yang ingin dicapai supervisi, maka hal itu merupakan tujuan supervisi. Fungsi dan tujuan supervisi berhubungan erat, keduanya menyangkut hal yang sama. Hal ini dibedakan agar informasi yang diberikan menjadi lebih lengkap.

Huse (1972, h. 265) mengatakan supervisi hanya sebagai satu fungsi yaitu fungsi manajemen, ialah pengarahan yang terdiri dan inisiatif dan kepemimpinan, pengaturan dan pembimbingan, pemberian motivasi, dan pengawasan. Tetapi literatur lain menunjukkan beraneka ragam fungsi, dengan istilah yang berbeda-beda antara lain tugas, fungsi, pelaksanaan, dan sejenisnya. Fungsi supervisi pendidikan akan disusun secara sistematis sebagai uraian herikut.

Fungsi supervisi dapat dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu:

1. Fungsi utama ialah membantu sekolah yang sekaligus mewakili pemenintah dalam usaha memcapai tujuan pendi dikan yaitu membantu perkembangan individu para siswa.

2. Fungsi tambahan ialah membantu sekolah dalam membina guru-guru agar dapat bekerja dengan baik dan dalam mengadakan kontak dengan masyarakat dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat serta mempelopori kemajuan masyarakat.

Masing-masing fungsi tersebut di atas diuraikan secara terperinci seperti benikut. Yang termasuk fungsi utama ialah : Pertama,supervisi merupakan teman seperjuangan administrasi, secara fungsional tidak terpisah satu dengan yang lain, keduanya terkoordinasi, berkorelasi, saling melengkapi, dan saling menunjang dalam melaksanakan sistem pendidikan. (Sergiovanni, 1971, h.4-5)

Kedua, supervisi mengkoordinasi personalia sekolah terutama guru-guru dan aktivitas-aktivitas sekolah agar tidak jauh menyimpang dan perencanaan semula. Hasil perencanaan pada umumnya tidak dapat dilaksanakan secara tepat sejak awal. Penyimpangan-penyimpangan itu diminimalkan dengan cara mengadakan supervisi kontinu terhadap pengaturan tugas guru dan aktivitas-aktivitas sekolah dengan segala aspeknya. Usaha ini merupakan preventif terhadap kemungkinan kekacauan pelaksanaan program sekolah.

Ketiga, sebagai wakil pemerintah, khususnya Pemerintah Indonesia, sekolah berkewajiban memasyarakatkan di kalangan personalia sekolah dan memasyarakatkan PMP di kalangan para siswa, karena keduanya merupakan manifestasi dan falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Karena itu patut menjadi bagian dan kehidupan sehari-hari di sekolah atau sebagai cara bertingkah laku di sekolah. Hal ini dapat dilakukan lebih efektif dengan bantuan supervisi.

Keempat, sebagai wakil pemerintah sekolah akan melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah. Kebijakan Pemerintah Indonesia misalnya ialah menciptakan sekolah sebagai pusat kebudayaan yang didukung oleh ketahanan sekolah, meningkatkan pendidikan humaniora untuk mengimbangi pendidikan intelek, meningkatkan pendidikan Sejarah Indonesia untuk menggalang kecintaan dan semangat bangsa di kalangan para siswa, melayani anak-anak yang berbakat, dan sebagainya. Untuk memahami ke bijakan-kebijakan itu secara lebih mendalam diperlukan bantuan, begitu pula pelaksanaannya membutuhkan monitoring kedua duanya dan pihak supervisor.

Kelima, supervisi memperlancar proses belajar mengajar. Ada beberapa segi dan proses intruksional yang perlu mendapat perhatian para supervisor, yaitu:

1. Perencanaan instruksional yang menyangkut segala aspek belajar mengajar yang akan dilaksanakan oleh para siswa dan guru-guru. Perencanaan perlu disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai, situasi sekolah, sumber-sumber pendidikan yang tersedia, dan para siswa yang akan dididik.

2. Model belajar yang mungkin dilaksanakan. Model tersebut antara lain di depan guru di sekolah, belajar dengan media pendidikan di sekolah, campuran dan kedua model di atas, belajar dengan media pendidikan di luar gedung/halaman sekolah, belajar dengan media pendidikan di sekolah, dan sebagainya. Setiap model belajar perlu dipertimbangkan keuntungan dan hambatannya.

3. Sarana dan alat-alat pendidikan yang perlu disiapkan, metode belajar dan metode mengajar yang cocok yang perlu dipilih. Tidak ada perlengkapan belajar dan metode mengajar yang cocok untuk semua bidang studi. Setiap bidang studi membutuhkan alat dan metode sendiri-sendiri.

4. Situasi belajar yang bagaimana yang cocok untuk mempelajari bidang studi tertentu. Situasi belajar yang dibutuhkan perlu diciptakan dan dipertahankan selama proses belajar berlangsung.

5. Macam evaluasi yang akan dilakukan dan alat evaluasi program, proses belajar mengajar, dan prestasi belajar. Alat evaluasi bisa bersifat uraian bisa juga bersifat obyektif dengan bermacam-macam bentuk.

Keenam, para supervisor hendaknya mengendalikan usaha untuk mendidik para siswa agar setiap siswa berkembang secara total, yaitu setiap aspek individu anak berkembang seimbang, harmonis, dan optimal. Daoed Joesoef (1982, h. 9) mengatakan perkembangan seperti ini mencakup logika, estetika, dan praktika. Sedangkan literatur barat menyebutkannya sebagai afeksi, kognisi, psikomotor.

Ketujuh, setiap siswa dikatakan unik, artinya memiliki minat, bakat, dan kemampuan tersendiri tidak pernah sama dengan individu lain. Perkembangan masing-masing siswa mi perlu di layani dan disalurkan, diberi wadah, dan dibina sesuai dengan minat/bakat dan tingkat kemampuannya. Siswa yang mempunyai kemampuan tinggi disalurkan ke perguruan tinggi, sedangkan yang mempunyai kemampuan, biasa diarahkan ke dunia kerja sesuai dengan bakat mereka masing-masing. Guru dalam mengatur program dan belajar siswa untuk maksud di atas, sangat membutuhkan bantuan pemikiran supervisor.

Kedelapan, bimbingan karier tersebut di atas sangat erat hubungannya dengan tugas Badan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Di samping itu badan ini juga mengurusi kesulitan belajar para siswa dan kesulitan-kesulitan pribadi mereka. Pekerjaan seperti itu bagi guru tidaklah mudah, namun demikian setiap guru pada bakikatnya adalah Guru Pembimbing. Mereka tidak boleh menyerahkan tugas itu semuanya kepada petugas bimbingan dan konseling. Kesulitan para guru ini bisa dikurangi dengan hadimya supervisor di bidang bimbingan dan konseling.

Fungsi supervisi tambahan yaitu tidak secara langsung menyangkut proses belajar mengajar di sekolah adalah sebagai berikut: Pertama, memotivasi guru agar tetap bekerja dengan baik bukanlah pekerjaan yang mudah Kepala sekolah bekerja sama dengan para supervisor melaksanakan tugas ini secara teori setiap pejabat profesional, termasuk guru, harus tetap berdedikasi kepada tugasnya pada setiap situasi dan kondisi. Tetapi kenyataannya dalam praktek tidaklah seperti itu. Para guru masih tetap membutuhkan motivasi dan luar dirinya agar tetap dapat bekerja dengan baik.

Kedua, memberi dorongan kepada guru agar tidak bekerja secara monoton suatu cara kerja yang tetap yang tidak ada perubahan dan waktu kewaktu, juga tidak gampang. Pada umumnya cara bekerja guru akan berubah kalau ada aturan atau kurikulum baru yang menghendakinya. Tetapi perubahan cara bekerja yang datang dan inisiatif dan kreatif guru itu sendiri tidak banyak diketemukan. Adalah menjadi kewajiban para supervisor untuk membangkitkan inisiatif guru agar kreatif mencari cara-cara baru yang lebih baik membimbing siswa belajar.

Ketiga, para supervisor sudah sepantasnya menjadi teladan bagi guru-guru dalam membawa diri sebagai pendidik, terutama kemauan, semangat bekerja, dan kepribadian. Cara ini cocok diterapkan di Indonesia sebab sesuai dengan adat kebiasaan kita. Suatu kebiasaan masyarakat suka meniru penilaku yang dipandang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, merasa perlu berperan kepada orang-orang senior atau berpangkat tinggi (Koentjaraningrat, 1982, h, 10).

Keempat, para supervisor perlu menegakkan disiplin kerja guru-guru, dengan memberi contoh dengan pengawasan beserta sanksi-sanksinya. Sanksi bisa dihubungkan dengan hukuman jabatan Bagi guru yang memiliki disiplin baik perlu diberi insentif.

Kelima, penelitian dalam batas-batas kemampuan sekolah untuk dibina dan ditingkatkan di sekolah, terutama penelitian-penelitian tentang pengembangan kurikulum dan pengembangan bidang studi. Penelitian ini bisa dilaksanakan oleh guru dibantu siswa-siswanya. Sedangkan para supervisor bisa bertindak sebagai konsultan.

Keenam, kepala sekolah bersama supervisor menghimbau guru-guru agar mau berusaha meningkatkan profesinya. Mereka carikan jalan agar dapat belajar lagi secara formal, mengikuti penemuan-pertemuan ilmiah, dan penataran-penataran. Diskusi-diskusi antara guru di sekolah ditingkatkan, referensi ilmiah diperbanyak, dan klub-klub bidang studi dibentuk.

Ketujuh, supervisor juga mempunyai kewajiban menghubungkan sekolah dengan masyarakat. Sekolah perlu membuka pintu terhadap masyarakat, sebab sekolah juga tanggung jawab masyarakat, Sekolah perlu mempertimbangkan tuntutan masyarakat, menyesuaikan, diri kepadanya walaupun sekolah juga berkewajiban menjadi agen pembaharuan masyarakat.

Kedelapan, supervisor juga menjadi agen informasi pendidikan yang bersumber dari luar sekolah. Terutama informasi dan masyarakat luas dengan perubahan-perubahannya yang serba cepat. Informasi-informasi itu perlu segera ditenima oleh sekolah, agar sekolah tidak terlambat mempersiapkan diri menghadapi dinamika sosial, informasi-informasi dan sekolah lain tentang aktivitas-aktivitas pendidikan yang patut dicontoh juga perlu di sampaikan ke sekolah sebagai bahan pertimbangan dalam memperbaiki mutu pendidikan.

Sesudah membahas tentang fungsi-fungsi supervisi, maka sampailah uraian ini kepada tujuan supervisi. Tujuan supervisi menurut Sergiovanni (1971, h. 6) ialah :

1. Tujuan akhir adalah untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan para siswa (yang bersifat total). Dengan demikian sekaligus akan dapat memperbaiki masyarakat.

2. Tujuan kedua ialah membantu kepala sekolah dalam menyesuaikan program pendidikan dan waktu ke waktu secara kontinu. (Dalam rangka menghadapi tantangan - perubahan zaman).

3. Tujuan dekat ialah bekerja sama mengembangkan proses belajar mengajar yang tepat. Tujuan-tujuan tersebut perlu ditambah dengan :

4. Tujuan perantaraan ialah membina guru-guru agar dapat mendidik para siswa dengan baik, atau menegakkan disiplin kerja secara manusiawi.

F. Supervisi pada zaman sekarang

Yang dimaksud dengan supervisi pada zaman sekarang ialah teori supervisi yang dipandang baik pada abad ke-20 ini, yang sering pula disebut supervisi modern. Supervisi ini mempunyai ciri-ciri dinamis dan demokratis yang merefleksikan vitalitas pemahaman dan kepemimpinan yang berbobot (Neagly, 1980, h.1). Lebih jauh karakteristik supervisi modern dikatakan sebagai berikut (h. 4-7).

Pertama, menciptakan dan mempertahankan antar hubungan yang memuaskan di antara semua anggota staf. Kondisi seperti ini merupakan dasar yang paling utama dalam melaksanakan supervisi. Sebab supervisi adalah merupakan suatu proses yang menyangkut aktivitas-aktivitas individu di sekolah. Individu sukar dibina bila tidak didasari oleh pengenalan dan hubungan yang akrab.

Manfaat pembinaan guru-guru dan personalia lainnya di sekolah oleh supervisor tidak jauh berbeda dengan manfaat pembinaan kebiasaan hidup anak-anak dalam keluarga atau manfaat pembinaan Mien dalam konseling. Ketiganya bemilai positif dalam meningkatkan perkembangan mereka. Begitu pula proses pembinaan itu hampir sama di antara ketiga macam hubungan tadi. Orang tua yang tidak bisa bergaul akrab dengan anak-anaknya lebih banyak kemungkinan menghadapi tantangan dan anak-anak itu. Perbedaan pendapat antara anak dan orang tua sukar didamaikan. Pertentangan seperti ini lebih sering terjadi terhadap bapak dari pada terhadap ibu. Apa sebab? ialah karena sifat alamiah ibu lebih akrab dengan anak-anaknya. Sehingga pada umumnya ibu lebih berhasil membina anak dari pada bapak. Begitu pula halnya dalam proses konseling, bila hubungan konselor dengan Mien belum akrab sangat sukar untuk mendapatkan informasi-informasi atau pe ngakuan-pengakuan yang sifatnya pribadi dan klien, sehingga proses konseling tidak bisa efektif. Keakraban hubungan merupakan modal bagi keberhasilan konseling.

Dalam supervisi pendidikan hubungan supervisor dengan personalia sekolah terutama guru-guru juga merupakan modal bagi keberhasilan supervisi. Hubungan tersebut hendaklah bersifat ter buka, tidak ada yang dirahasiakan, mau dan berani menegur serta tidak tersinggung bila ditegur. Itulah yang disebut hubungan bersifat persahabatan, suatu hubungan yang bersifat informal. Dengan sifat hubungan seperti itu diharapkan semua guru atau personalia sekolah akan memberikan konstribusinya kepada proses pendidikan.

Karakteristik yang kedua ialah demokratis. Istilah demokratis dikatakan mencerminkan dinamika, dapat mengerti atau memahami, sensitif, dan memegang peranan kepemimpinan. Supervisi yang dinamis ialah supervisi yang aktif, kreatif, dan banyak inisiatif dalam melaksanakan fungsinya. Suatu supervisi yang tidak hanya mengamati, mengontrol, mengkritik, dan menilai saja, tetapi jauh lebih luas daripada itu. Supervisi seperti ini ikut merencanakan agar proses belajar memberi hasil yang baik, membantu menciptakan kondisi belajar yang baik, memomtor guru-, guru agar tidak sampai terlanjur jauh berbuat salah, mencari sebab sebuah kesalahan, memberi saran, dan membimbing. Supervisor tidak hanya mencari kesalahan guru, tidak pula hanya memperbaiki kesalahan guru, tetapi juga berusaha mengadakan preventif agar guru-guru sedikit mungkin berbuat salah. Hal ini dilakukan dengan bernacam-macam cara sesuai dengan problem yang dihadapat itulah sebabnya mengapa supervisor itu perlu aktif, kreatif, dan berinisiatif.

Untuk mempermudah pelaksanaan tugas, supervisor perlu mengerti atau memahami kepribadian setiap guru. Setiap guru atau personalia sekolah adalah unik. Supervisor perlu memahami keunikan setiap individu yang dibinanya. Pemahaman terhadap individu merupakan strategi bagi supervisor dalam aksinya mempengaruhi, mengarahkan, dan memotivasi individu tersebut. Setiap guru membutuhkan teknik pembinaan tersendiri sesuai dengan eunikan mereka masing-masing.

Supervisor membutuhkan kesensitivan dalam berkomunikasi dengan guru-guru. Kesensitivan atau kepekaan ini juga merupakan alat bagi supervisor dalam memudahkan memilih cara yang dipakai menghadapi guru-guru dalam usaha membina mereka. Supervisor harus peka terhadap situasi dan kondisi yang sedang dihadapi guru, harus peka terhadap masalah yang dihadapi guru, dan harus peka ia terhadap suasana hati guru yang akan dia bina. Dengan pekaan ini supervisor cepat tahu apa yang terkandung dalam hati guru yang sedang dihadapinya. Pengetahuan ini memberi jalan baginya untuk mengatur strategi lebih lanjut.

Supervisor yang sensitif dan dinamis menunjukkan padanya sebagai pemimpin yang berbobot. Sebab tidak ada arti kalau hanya peka terhadap situasi, paham terhadap pribadi anak buah, dan aktif tanpa memanfaatkan pengetahuan itu untuk pentingan tugas membimbing bawahan. Pemanfaatan pengetahuan itu untuk kepentingan tugas supervisi tidak lain daripada mimpinan yang dilakukan oleh supervisor itu sendiri.

Supervisor dengan kepemimpinannya akan berusaha mengadakan akan kerjasama dengan guru-guru dan personalia sekolah lain dalam usaha meningkatkan proses belajar mengajar di sekolah. Supervisor berusaha menciptakan suasana yang kondusif, sehingga memungkinkan saling memberi dan saling menerima. Dalam situasi ini tidak ada satupun yang mendominasi kelompok. Setiap anggota kelompok merasa berharga karena dihargai. Mereka semua merasa bahwa sekolah itu adalali milik mereka bersama. Situasi dan perasaan seperti ini memungkinkan penyelesaian suatu masalah diskusi bisa berjalan lancar dan keputusan dapat diambil secara konsensus.

Supervisi secara demokratis tersebut di atas tidak mudah di[raktekkan. Dalam pertemuan-pertemuan pendidikan antara atasan sebagai supervisor dengan bawahan di Indonesia sangat langka dapat dijumpai proses demokrasi di atas. Pada umumnya kelompok masih didominasi oleh pemimpin. Mungkin hal ini disebabkan oleh kebudayaan kita seperti diuraikan dalam bab I, bahwa masyarakat cenderung meniru pemimpinnya. Hal ini dibenarkan oleh hasil penelitian Beeby (1979, h.86) yang mengatakan bahwa sikap guru-guru di Indonesia bersifat tradisional yang otoriter, yaitu menunggu instruksi atasan untuk mengadakan perubahan. Bila kita sepakat bahwa sikap itu keliru, bagaimanakah usaha para supervisor untuk memperbaikinya?

Karakteristik supervisi modern yang ketiga adalah komprehensif. Suatu supervisi yang berlangsung mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan sekolah menengah tingkat atas yang mencakup beberapa sekolah untuk wilayah tertentu. Bentuk dan isi supervisi untuk tingkat-tingkat sekolah itu tidak boleh berbeda beda. Kesamaan ini dimaksudkan untuk menjamin kontinuitas kurikulum sekolah dari taman kanak-kanak sampai dengan sekolah menengah tingkat atas. Hal ini akan memudahkan para siswa mengembangkan diri melalui kurikulum tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa pertumbuhan dan perkembangan siswa secara berarti sebagian besar terjadi melalui proses belajar mengajar di sekolah. Metode belajar yang dikoordinasi oleh guru ikut menentukan kelancaran perkembangan siswa. Selain itu setiap siswa membutuhkan waktu untuk dapat mengikuti cara belajar tertentu yang diintroduksi oleh guru. Cukup sulit bagi siswa kalau ia sudah biasa belajar dengan cara aktif sendiri melakukan sesuatu ke cara belajar dan pembaca buku saja misalnya. Contoh yang mirip seperti ini terjadi di Indonesia pada masa peralihan dari taman kanak-kanak ke sekolah dasar (baca Hasil Evaluasi, 1982/1983, h. 17). Itulah sebabnya perlu diusahakan kesamaan metode belajar mengajar dan tingkat sekolah yang paling rendah sampai ke tingkat yang paling tinggi.

Kesamaan metode belajar mengajar di sini tidak berarti persis sama untuk semua tingkat sekolah dan semua bidang studi, melainkan yang sama adalah prinsipnya. Misalnya semua menggunakan prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktit), sehingga belajar siswa dari satu tingkat sekolah ke tingkat yang lain menjadi lancar Sebab sudah biasa dengan CBSA. Begitu pula materi yang dipelajari ara prinsip harus sama, yaitu dapat menunjang pembentukan manusia seutuhnya, hanya tingkat kesukarannya yang perlu berbeda.

Kesamaan kurikulum tersebut di atas bisa dicapai secara aktif bila dimonitor lewat supervisi yang komprehensif, baik secara vertikal dan taman kanak-kanak sampai dengan sekolah menengah tingkat atas, maupun secara horizontal dalam tingkatkat sekolah dalam wilayah-wilayah tertentu. Bila supervisi di ayah-wilayah itu terkoordinasi satu dengan wilayah lainnya, maka akan diperoleh kesamaan kurikulum seluruh wilayah negara.

Selain supervisi komprehensif ditujukan kepada kurikulum, ia juga komprehensif terhadap personalia sekolah. Artinya persolan sekolah yang mencakup kepala sekolah, para guru, para pegawai tatausaha, dan juga parasiswa, semua dikoordinasi aktivitasnya untuk memperbaiki aspek-aspek belajar siswa. Semua perhatian personalia sekolah, terutama guru-guru, diarahkan ada pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan.

Sehubungan dengan uraian di atas, Marks membuat perbandingan supervisi tradisional dengan supervisi modern yang ia kutib dari Burton dan Brueckner sebagai berikut (1978, h. 12). supervisi tradisional ialah (1) menginspeksi, (2) terpusat pada guru (3) berkunjung dan berdiskusi, (4) perencanaan yang sederhana , (5) memergoki dan otoriter, dan (6) biasanya oleh satu orang. Sedangkan supervisi modern ialah (1) pragmatis dan menganali sis (2) terpusat pada tujuan, materi, teknik, metode, guru, siswa, ligkungan (3) melaksanakan beraneka ragam fungsi, (4) perencanaan dan organisasi yang jelas dengan tujuan yang khas, (5) Motivasi dan bekerjasama, dan (6) oleh orang banyak. Perbandingan akan memperjelas apa yang dimaksud dengan super yang hersifat komprehensif. Inilah merupakan karakteristikterakhir dari supervisi modern menurut pandangan Neagley.

Sergiovanni membedakan supervisi tradisional dengan supervisi modern dari segi perlakuan terhadap personalia sekolah, yang disebut sebagai variabel perantara (mediating variables). Supervisi tradisional tidak memakai variabel ini, sebaliknya supervisi modern mempergunakannya yang membuat lebih berhasil sebab variabel ini bertindak sebagai variabel moderator terhadap kesuksesan sekolah (1971, h. 16-18)

Ada tiga variabel dalam hubungan dengan supervisi didikan. Variabel-variabel tersebut ialah variabel awal (initiating variables) yang mencakup:

1. Supervisor yang memegang referensi untuk teman-teman nya, para bawahan, dan dirinya sendiri,

2. Pola-pola penlaku administrasi dan supervisi.

3. Elemen-elemen struktur organisasi.

4. Sistem otoritas.

5. Tujuan sekolah dengan pola untuk mencapainya.

Variabel kedua ialah variabel perantara yang mencakup:

1. Sikap guru dan personalia sekolah lainnya terhadap jabatan, dan antar hubungan mereka.

2. Tingkat kepuasan bekerja.

3. Komitmen staf terhadap tujuan sekblah.

4. Gambaran tujuan sekolah yang dimiliki oleh guru-guru.

5. Tingkat kesetiaan guru-guru.

6. Kepercayaan dan keakraban antar personalia sekolah.

7. Kemauan untuk mengontrol pekerjaan sendiri.

8. Fasilitas untuk berkomunikasi

Vanabel ketiga ialah variiabel kesuksesan sekolah yang mencakup :

1. Tingkat performan guru-guru dan personalia sekolah lainnya.

2. Tingkat performan para siswa.

3. Tingkat perkembangan dan pertumbuhan para siswa.

4. Peningkatan organisasi personalia sekolah.

5. Laju presensi dan absensi staf.

6. Laju absensi dan dropout para siswa.

7. Kualitas hubungan sekolah dengan masyarakat.

8. Kualitas hubungan personalia sekolah.

Dikatakan lebih lanjut bahwa supervisi tradisional hanya mengejar kesuksesan jangka pendek saja, dengan bertitik tolak pada variabel awal tanpa menghiraukan variabel perantara. Itulah sebabnya kesuksesan mudah lenyap sebab semangat pelaksanalaksananya mudah memudar.

Menyadari kelemahan supervisi tradisional tersebut di atas, maka supervisi modern meletakkan kunci penggeraknya pada organisasi personalianya yaitu para pelaksana yang dikatakan di atas sebagai variabel perantara, walaupun diakui bahwa variabel juga dipengaruhi dan ditentukan oleh variabel awal. Namun tidak dapat disangkal bahwa variabel perantara ini mampu mengadakan intervensi terhadap proses belajar mengajar di sekolah yang membuat pendidikan bisa maju atau mundur. Dapat dikatakan kemajuan suatu pendidikan sebagian besar ditentukan oleh kehadiran variabel perantara yang positif.

Variabel perantara yang terdiri dari sikap, kepuasan bekerja, komitmen, kesetiaan, dan sebagainya, merupakan dasar dedikasi seorang guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah. Bila hal ini dihubungkan dengan pengertian sikap dari Aliport yang mengatakan bahwa sikap adalah proses mental individu yang menentukan respon potensial dan aktual di dalam dunia sosial (Made Pidarta, ), Ii. 17), maka bisa diteriima variabel ini sebagai kunci keberhasilan atau kegagalan sekolah. Sebab sikap sebagai salah satu dasar dedikasi seseorang akan menentukan apa yang ingin dilakukan orang itu dan bagaimana perilakunyata orang tersebut.

Menyadari hal ini, yang pertama-tama ditangani oleh supervisor modern ialah organisasi personalia sekolah yaitu orang-orang yang melaksanakan pendidikan itu. Supervisor berusaha menghadirkan variable perantara itu pada diri setiap guru dan personalia sekolah lainnya. Dengan cara ini mungkin kesuksesan pendidikan tidak segera akan nampak, tetapi secara berangsur-angsur dalam jangka panjang sangat mungkin akan tercapai. Lagi pula kesuksesan seperti itu akan lama bertahan, bahkan cara ini dapat dipandang sebagai strategi untuk melestarikan kesuksesan pendidikan.

Menaruh perhatian pertama pada organisasi personalia sekolah berarti memperhatikan gairah kerja mereka. Untuk mendapatkan kegairahan bekerja perlu melayani apa yang membuat para guru bermotivasi untuk bekerja dengan baik. Hal ini sudah di uraikan dalam bab I antara lain dengan memberi kesempatan kepada mereka kreatif, memajukan bidang studi yang dipegang, meningkatkan kompetensi mengajar, menghargai penemuan-penemuan mereka, dan sebagainya. Mereka perlu diberi kesempatan mengembangkan atau memajukan proses belajar mengajar sendiri yang cocok dengan bidang studi yang mereka pegang.

Lucio menyebutkan cara mengembangkan proses belajar mengajar sendiri sebagai metode intelegensi praktis (1979, h. 13- 18). Suatu metode sendiri yang dicari di lapangan dengan penelitian-penelitian dan diskusi-diskusi dengan teman guru. Kebenaran metode ini harus ditest pada cara membantu siswa belajar secara efektif. Metode ini dia pertentangkan dengan metode rasional, yang bertitik tolak pada logika bukan pada fenomena emperis yang ada di lapangan. Metode kedua ini memandang ilmu yang membicarakan proses belajar mengajar sudah siap pakai, tidak perlu direvisi, Guru yang akan memakainya tinggal memasangkan medan tenpa belajar dan materi yang dipelajari siswa dengan salah satu metode yang sudah ada. Alat yang dipandang paling ampuh untuk mencocokkan medan dengan metode itu adalah logika guru.

Bila metode intelegensi praktis yang akan dipilih untuk menimbulkan kegairahan guru mengajar, konsekuensinya para supervisor harus mampu membimbing para guru cara menemukan metode-metode belajar mengajar yang baru itu. Cara itu mengikuti metode analisis ilmiah yang dipelopori oleh John Dewey, yaitu dengan mengajukan hipotesis, mengobservasi di lapangan, menguji hipotesis dan menginterprestasi, akhirnya merumuskan metode yang baru.

Misalnya guru ingin menemukan metode belajar mengajar. Lingkungan Hidup yang efektif, yang dapat membuat para siswa sadar akan pentingnya memelihara lingkungan hidup, paham akan caranya, dan mau melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini supervisor akan memberi kesempatan dan mendorong guru yang bersangkutan untuk mengadakan studi literatur untuk membentuk hipotesis, kemudian membuat rancangan ksperimen kecil-kecilan, mengobservasi dan menilai fakta, kemudian menentukan keberhasilan eksperimen tersebut. Hasil ini yang akan menentukan apakah metode belajar mengajar yang baru itu dipakai atau tidak.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa supervisi modern adalah supervisi yang memperhatikan antar hubungan personalia sekolah, menghargai dan menghayati kepribadian, bakat, dan kemampuan mereka masing-masing. Penghargaan dan pengetahuan ini merupakan suatu strategi dalam membina profesi mereka pendidik, yang dilakukan dengan metode intelegensi yang bersifat demokratis. Supervisi dilakukan secara komprehensif yaitu dengan cara menyamakan, prinsip-prinsip yang dipakai dalam proses belajar mengajar dan prinsip-prinsip materi baik secara vertikal maupun secara horizontal.

Teori supervisi modern tersebut di atas mungkin mengundang pertanyaan, apakah teori itu dapat diterapkan di lapangan dalam arti cocok dengan situasi dan kondisi pada zaman sekarang yang dikatakan sebagai zaman modern? Apakah guru-guru bisa dimanfaatkan untuk mengintervensi kemajuan pendidikan ? Apakah semua guru aktif, dinamis, mau bekerja keras tanpa pamrih ? Apakah semua bersikap profesional dalam arti bertekad meningkatkan profesinya setinggi-tingginya? Berapa banyak gurukah yang dapat melepaskan diri dari adat tradisional otoriter seperti dikemukakan Beeby dalam hasil penelitiannya di Indonesia? Berapa banyakkah pemimpin pendidikan mampu melaksanakan prinsip demokrasi secara murni dalam rapat-rapat kerja di lingkungannya masing-masing?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab melalui observasi di lapangan sebelum melaksanakan supervisi modern itu. Jawaban pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan menentukan apakah supervisi itu bisa dilaksanakan atau tidak. Atau dapat dibentuk model supervisi khusus untuk Indonesia. Nampaknya yang dikatakan oleh Robbins bahwa kita atau supervisor tidak perlu terlalu ketat bercermin kepada teori dalam melaksanakan tugas tugasnya (1982, h. 102) memang benar. Manfaatkanlah realita yang ada sekarang untuk mencapai hasil yang sebesar-besarnya, yaitu kesuksesan dalam bidang peñdidikan.

Bila guru-guru dan personalia sekolah lainnya belum siap melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi karena masih terikat kepada tradisi, bila mereka belum siap berdiri sendiri mengembangkan profesinya, supervisor masih dibënarkan melaksanakan tugas yang bersifat semi otoriter, yang penting adalah tujuan pendidikan harus tercapai. Dikatakan semi otoriter sebab secara perlahan-lahan para supervisor perlu menegakkan demokrasi di sekolah-sekolah yang belum menunjukkan demokrasinya. Sebab dengan tegaknya demokrasi lebih mudah membina guru mengembangkan profesinya secara mandiri.

G. Kecenderungan supervisi pada masa mendatang

Ada beberapa ramalan tentang bagaimana kemungkinan supervisi pada masa yang akan datang. Di antara ramalan itu akan dikemukakan dua macam, yang satu meninjau supervisi dari sudut profesional guru, sedang yang lain meninjau dari sudut politik negara. Atau yang satu melihat kecenderungan supervisi terpusat pada pengembangan profesi pendidik, yang lain melihat kecenderungan itu bertitik pusat pada politik pada politik negara.

Kecenderungan-kecenderungan supervisi yang baru dan mungkin yang terus berkembang pada masa akan datang dalam membina para guru disebabkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang begitu pesat. Perkembangan seperti ini akan membuat dunia beserta masyarakatnya akan berubah dengan cepat pula. Masyarakat yang akan datang mungkin sudah berbeda dengan masyarakat sekarang. Anak-anak yang akan menjadi anggota masyarakat pada masa mendatang perlu dipersiapkan secara awal. Tugas mempersiapkan anak itu sebagian besar dipegang oleh guru- guru di sekolah. Oleh karena itu guru dipandang perlu memiliki wawasan dan keterampilan baru dalam membimbing siswa-siswa agar mereka kelak dapat menghadapi dan menyelesaikan tantangan-tantangan sosial yang kompleks dan dinamis.

Untuk mencapai maksud di atas membutuhkan tipe supervisi yang baru (Marks, 1978, h. 94). Supervisi tersebut lebih mememusatkan dari pada pengembangan profesi dan bakat guru serta memanfaatkannya untuk kepentingan kemajuan pendidikan daripada memberi konsultasi langsung kepada guru-guru, membina agar mereka bisa memimpin diri sendiri, tidak bergantung kepada pengarahan dari luar, dan percaya kepada sumber-sumber pendidikan yang diperoleh sendiri. Supervisor juga menanamkan pengertian program sekolah yang baru kepada guru-guru dalam usaha menyiapkan para siswa menghadapi kehidupan yang semakin keras.

Jadi pengembangan calon-calon anggota masyarakat di masa yang akan datang yang akan menghadapi dan membina dunia baru diserahkan kepada kebijaksanaan dan kreativitas para guru sebagai ahli-ahli didik. Sementara itu kewajiban supervisor adalah membimbing para guru agar dapat menjalankan misi tersebut yang dibebankan kepadanya dengan baik.

Sementara Marks nampak membatasi diri pada dunia pendidikan (1979, h.18) rupanya menghubungkan pendidikan dengan situasi dunia sekarang, khususnya dalam bidang politik, Lucia melihat kecenderungan-kecenderungan sekolah pada masa yang akan datang lebih banyak dikontrol oleh negara. Negara memandang pendidikan merupakan suatu alat yang vital untuk menegakkan serta memajukan nusa dan bangsa. Hal ini memang penting bila dihubungkan dengan situasi dunia yang penuh dengan usaha merebut pengaruh dan persaingan kekuatan di antara dua negara raksasa. Pemerintah memandang perlu untuk mengawasi usaha-usaha sekolah agar anggota masyarakat yang diproduksi mampu mempertahankan kedaulatan negara, berdiri sendiri, dan tidak hanyut oleh pengaruh negara lain.

Bila demikian halnya, maka supervisor akan nampak kehilangan fungsinya yang sebenarnya, ia akan berada di antara sebagai alat negara dan sebagai profesional. Karèna itu disarankan peranan supervisor sabagai berikut (h. 19)

1. Sebagai perantara dalam menyampaikan minat para siswa, orang tua, dan program sekolah kepada pemerintah dan badan-badan lain.

2. Memonitor penggunaan dan hasil-hasil sumber belajar.

3. Merencanakan program untuk populasi pendidikan yang baru.

4. Mengembangkan program baru untuk jabatan baru yang mungkin muncul.

5. Mengkombinasikan program yang diajukan perdagangan, dan industri.

6. Menilai dan meningkatkan pengertian gaya kehidupan.

7. Memilih inovasi yang konsisten dengan masa yang datang.

Ramalan yang sifatnya menjangkau terlalu jauh kepada yang akan datang seringkali tidak tepat. Pengajaran dengan mesin yang diramalkan pada tahun 1960-an akan menguasai pendidikan, temyata hal itu tidak terjadi sampai sekarang (Rol 1982, h.152). Oleh sebab itu membuat ramalan dalam bidang visi pendidikan, khususnya di Indonesia, tidak perlu menjangkau terlalu ke depan. Cukup setiap awal Pelita (Pembangunan Lima Tahun merumuskan model supervisi yang baru atau yang diperbaharui berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau dan antisipasi satu Pelita. Model ini bisa direvisi pula setiap tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar Prabu Mangkunegara, Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, PT. Refika Aditama : Bandung, 2003

Dewi Salma Prawiradilaga, Mozaik Tekhnologi Pendidikan, Universitas Negeri Yakarta, Yakarta, 2004.

E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep karakteristik, dan Implementasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003.

___________, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep Strategi dan Implementasi, PT. Rosdakarya, Bandung, 2004.

Farida, Yusuf Tayibnapis, Evaluasi Program, Penerbit Rineka Cipta : Jakarta, 2000

H. Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, Penerbit Alfabeto, Bandung, 2003.

Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Penerbit PT Rosda Karya, Bandung, 1995

Nurhadi, dkk, Pembelajaran Contextual dan Penerapannya, Penerbit Universitas Negeri Madang, 2004.

Soejitno Irmim, Abdul Rochim, 20 Kunci Sukses Membangun Semangat Bawahan, Penerbit Seyma Media : 2005

Suekidjo Notoadmodjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penerbit Rineka Cipta : Jakarta, 2003

Yusuf Hadi Miarso, Menyemai Benih tekhnologi Pendidikan, Pustekom, Jakarta, 2004.

BAB I

MENGAPA PERLU ADA SUPERVISI

Dalam dunia pendidikan selalu ada supervisi di dalamnya. Apakah hal itu memang harus demikian? Bila memang supervisi itu diperlukan, apa sebabnya? Masalah ini akan diuraikan dalam makalah ini ini. Sesudah membaca bagian ini para pembaca diharapkan akan memahami tentang :

1. Apa yang dimaksud dengan supervisi.

2. Hakikat individu membutuhkan supervisi.

3. Supervisi sebagai mekanisme kerja manajemen.

4. Supervisi dan perubahan kurikulum.

5. Fungsi dan tujuan supervisi.

Pengertian supervisi

Sebagaimana telah diketahui bahwa tidak ada dua orang yang sama, apa lagi lebih dan dua orang, maka dapat dimakiumi bahwa rumusan tentang apa yang di maksud dengan supervisi berbeda beda. Para ahli di bidang itu memberikan pengertian supervisi dengan kalimat yang tidak sama, walaupun apa yang mereka maksudkan tidak jauh berbeda. Perbedaan itu seringkali hanya disebabkan oleh penekanan pada aspek-aspek tertentu dan super visi itu sendiri. Berikut akan dikemukakan beberapa pengertian supervisi dan para ahli.

Sergiovanni (1971, h.10) mengemukakan pernyataan yang berhubungan dengan supervisi sebagai berikut: (1) Supervisi lebih bersifat proses dari pada peranan, (2) Supervisi adalah suatu proses yang digunakan oleh personalia sekolah yang bertanggung jawab terhadap aspek-aspek tujuan sekolah dan yang bergantung secara langsung kepada para personalia yang lain, untuk menolong mereka menyelesaikan tujuan sekolah itu.

Dan pernyataan di atas dapat dikaji bahwa supervisi itu bukan peranan, tetapi merupakan suatu proses. Proses tersebut terjadi di sekolah yang digunakan oleh personalia-personalia tertentu untuk menolong para personalia yang lain dalam usaha mencari tujuan pendidikan. Para personalia tertentu itu mempunyai tanggung jawab yang lebih besar daripada personalia-personalia yang lain, dan mereka ini bergantung dan personalia-personalia yang lain itu untuk mencapai tujuan pendidikan.

Sebab itu dikatakan supervisi-supervisi merupakan suatu perilaku bekerja melalui orang-orang untuk mengejar tujuan-tujuan sekolah. ini berarti supervisi merupakan aspek organisasi manusiawi di sekolah tersebut, yang dibedakan dengan administrasi sebagai aspek organisasi yang non manusiawi.

Neagley (1980, h. 20) mengemukakan bahwa setiap layanan kepada guru-guru yang bertujuan menghasilkan perbaikan instruksional, belajar, dan kurikulum dikatakan supervisi. Rumusan ini lebih operasional dari pada rumusan pertama di atas. Supervisi di sini di artikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan kepada guru-guru dalam bidang-bidang instruksional, belajar dan kurikulum. Mereka bekerja untuk memngkatkan ketiga bidang itu dalam usaha mencapai tujuan sekolah.

Nilai supervisi ini terletak pada perkembangan dan perbaikan situasi belajar mengajar yang direfleksikan pada perkembangan para siswa (Marks, 1978,h,4). Perbaikan situasi belajar mengajar berhubungan erat dengan pengelolaan kelas. ialah suatu usaha untuk (1) menciptakan, memperbaiki, dan memelihara organisasi kelas agar para siswa dapat mengembangkan minat, bakat, dan kemampuannya secara maksimal, (2) menyeleksi fasilitas belajar yang tepat dengan problem dan situasi kelas, (3) mengkoordinasi kemauan siswa mencapai tujuan pendidikan, dan (4) meningkatkan moral kelas.

Dalam hal ini supervisi inerupakan suatu proses untuk mewujudkan kondisi-kondisi tersebut di atas, sehingga proses belajar mengajar menjadi berkembang, yang membuat prestasi belajar siswa semakin meningkat.

Supervisi yang merupakan bagian tidak terpisahkan dan administrasi dikemukakan oleh Jones (1969, h. 302) sebagai berikut. Supervisi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan seluruh proses administrasi pendidikan yang ditujukan terutama untuk mengembangkan efektivitas performan (personalia sekolah) yang berhubungan dengan tugas-tugas utama dalam usaha-usaha pendidikan. Jones memandang supervisi sebagai sub sistem dan sistem admimstrasi sekolah. Sebagai sub sistem sudah tentu tidak terlepas sama sekali dengan administrasi yang juga menyangkut personalia non guru. Namun titik beratnya adalah pada pengembangan atau perbaikan performan para profesional yang menangani para siswa sebagai obyek yang digarap oleh sekolah. Mereka itu adalah para guru, kepala sekolah, para petugas bimbingan dan konseling, para petugas laboratorium, para petugas perpustakaan, para petugas pusat sumber belajar, dan sebagainya.

Performan atau cara kerja mereka dikembangkan, agar usaha membimbing siswa belajar dapat berkembang pula. ini berarti proses belajar mengajar ditingkatkan efektivitasnya. Proses pengembangan cara kerja ini berlangsung di tempat mereka bekerja pada waktu jam kerja pula. Mereka tidak menerinia penataran dalam proses supervisi.

Robbins (1982, h. 332) mengemukakan supervisi sebagai suatu aktivitas pengarahan langsung terhadap aktivitas-aktivitas bawahan. Tetapi yang memberi pengarahan tersebut dibatasi hanya pada administrator terdepan saja. Sebab administrator terdepanlah yang berhadapan langsung dengan personalia sekolah yang me nangani proses belajar mengajar para siswa. Berarti pengarahan para administrator madia dan tertinggi tidak dikatakan supervisi.

Di samping itu Robbins tidak membedakan aktivitas pengarahan terhadap proses belajar mengajar sebagai tugas utama sekolah dengan aktivitas pengarahan terhadap pekerjaan-pekerjaan di luar proses belajar mengajar. Semua jenis aktivitas pengarahan administrator terdepan dikatakan sebagai supervisi.

Dan pendapat para ahli tersebut di atas dapat ditarik tiga unsur yang secara eksplisit maupun implisit ada pada rumusan rumusan pengertian supervisi itu.

Ketiga unsur itu adalah.

4. Unsur proses pengarahan, bantuan, atau pertolongan dan pihak atasan atau pihak yang lebih memahami.

5. Unsur guru-guru dan personalia sekolah lainnya yang ber hubungan langsung dengan belajar para siswa sebagai pihak yang diberi pertolongan.

6. Unsur proses belajar mengajar atau situasi belajar mengajar sebagai objek yang diperbaiki.

Pihak atasan yang mempunyai wewenang memberi pengarahan atau bimbingan kepada guru-guru tidak perlu terbatas kepada administrator terdepan saja. Semua administrator atau petugas senior lainnya dapat memben bantuan, hal itu bergantung kepada situasi atau kebutuhan. Proses atau situasi belajar mengajar yang menjadi objek yang diperbaiki dititikberatkan kepada situasi belajamya. Sebab dengan majunya teknologi pendidikan sangat mungkin siswa akan belajar sendiri tidak dihadapan guru, dia hanya berhubungan langsung dengan materi pelajaran dan perlengkapan belajar. Namun situasi belajar seperti ini tidak boleh selalu terjadi, sebab belajar berpenilaku sangat sulit dilakukan tanpa disertai guru.

Dengan demikian hakikat supervisi adalah suatu proses pembimbingan dan pihak atasan kepada guru-guru dan para personalia sekolah lainnya yang langsung menangani belajar para siswa, untuk memperbaiki situasi belajar mengajar, agar para siswa dapat belajar secara efektif dengan prestasi belajar yang semakin meningkat. Sedangkan yang melakukan supervisi disebut supervisor. lstilah pembimbingan mengacu kepada usaha yang bersifat manusiawi yang tidak bersifat otoriter. Yang dimaksud dengan pihak atasan di samping dalam arti hierarki, juga dalam arti kewenangan atau kompetensi dalam bidang yang di supervisi. Memperbaiki situasi bekerja dan belajar secara efektif tergandung makna di dalamnya bekerja dan belajar secara berdisiplin, bertanggung jawab, dan memenuhi akuntabilitas.

Hakikat individu

Orang-orang khususnya guru-guru dan para personalia lainnya di sekolah yang berhubungan langsung dengan belajar para siswa, adalah merupakan individu yang tidak sempurna. Masih banyak yang tidak mereka ketahui tentang dirinya dan lingkungannya. ltulah sebabnya mereka membutuhkan belajar dalam menjalani hidupnya. Mereka membutuhkan petunjuk-petunjuk orang lain yang lebih tahu, mereka mencontoh orang lain yang mereka kagumi, mereka bercita-cita seperti cita-cita orang lain.

Argyris menggambarkan ketidak sempuraan ini sebagai model pradisposisi. Yaitu kecenderungan manusia sejak lahir sampai dewasa dan bahkan selama hidupnya untuk meningkatkan kehebasan, kemampuan, keterampilan, dan pandangan. Kecenderungan inilah yang dimanfaatkan oleh Argyris untuk memotivasi mereka belajar dan bekerja (Hoy, 1978,h. 97). Bila individu diberi tugas sesuai dengan pradisposisinya, dia akan menggunakan energinya secara maksimal dalam menyelesaikan tugas itu.

Ketidaksempurnaan individu nampak jelas dalam pengamatan kita sehari-hari. Guru kadangkala keliru menjelaskan sesuatu kepada siswa-siswanya sebab ia kurang bersiap sebelumnya. Petugas laboratorium dapat keliru menyiapkan bahan-bahan praktikum dikemukakan di atas tidak banyak dapat diketemukan guru yang mampu bekerja dengan relatif sempuma yang pantas dijadikan contoh bagi guru-guru lainnya. Mereka masih membutuhkan bimbingan dan para supervisor, kepala sekolah, maupun guru yang lebih kompeten.

Problem dunia semakin kompleks, dunia pendidikan mendapat tantangan untuk mempersiapkan siswa menghadapi kehidupannya. Guru-guru tidak sanggup menghadapi tantangan ini sendirian. Supervisi nampaknya menjadi penentu yang utama untuk memutuskan kurikulum, menyeleksi pola-pola organisasi sekolah, fasilitas belajar, dan menilai proses pendidikan secara keseluruhan (Neagley, 1980,h.4).

Sifat-sif at yang sejalan dengan kehidupan berkelompok, antara lain ialah berkompetisi bergotong royong, bermotivasi karena pengaruh teman, bertanggung jawab dalam bekerja sama, dan sebagainya. Di antara sifat-sifat itu yang paling banyak perlu diperhatikan dalam supervisi ialah sifat bermotivasi. Pengaruh orang lain dalam kehidupan berkelompok untuk memajukan diri sangat besar. Secara tidak langsung individu membandingkan kemampuan dan prestasi dirinya dengan kemampuan dan prestasi orang lain. Dan basil perbandingan itu bagi individu yang berdedikasi terhadap jabatannya, akan menimbulkan usaha untuk meningkatkan prestasi.

Sifat mudah dipengaruhi orang lain bila dikoordinasi secara sengaja, akan terwujud lebih dinamis dan kondusif serta akan meningkatkan profesi. Sifat inilah yang harus dimanfaatkan dalam supervisi. Mempengaruhi para guru gar bekerja lebih baik dan giat, bararti meningkatkan motivasi mereka untuk menjadi guru yang baik. Hal ini merupakan salah satu tugas dalam supervisi.

Hasil penelitian Herzbei menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dapat berhasil inemotivasi individu ialah prestasi yang dicapai, penambahan pengetahuan, pekerjaan itu sendiri (yang menantang), tanggung jawab, dan kemajuan-kemajuan yang diperoleh (Hoy, 1978, Ii. 102). Di samping faktor-faktor yang dapat dimanfaatkan dalam supervisi untuk memotivasi guru, terkandung makna dalam hasil penelitian ini ialah individu secara kodrat memang membutuhkan perangsang untuk memotivasi diri dan luar dirinya. Supervisor perlu mengatur strategi agar faktor-faktor tersebut di atas dapat berfungsi sebagai motivator.

Bila personalia sekolah secara keseluruhan berhasil dimotivasi, akan membuahkan suasana sekolah yang lebih bergairah. Mereka akan bekerja dengan tenang, lebih tekun, tugas dan tanggung jawabnya dihadapi dengan senang hati, tidak mudah bosan atau putus asa, dan tidak menggerutu.

Supervisi dan perubahan kurikulum yang kontinu

Kehidupan manusia selalu berubah, meningkat terus, sejalan dengan perubahan zaman. Perubahan yang cepat ini terutama di sebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Hal ini menuntut penyesuaian hidup bagi manusia, terutama generasi yang akan datang. Selain dan penyesuaian diri, generasi muda juga dituntut agar dapat memahami, memecahkan masalah, dan mengisi kehidupan yang cepat berubah itu. Tugas yang kedua ini lebih penting daripada yang pertama, sebab mereka harus aktif, dinamis mengisi hidup ini, dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi yang telah maju tetapi dengan tidak mengguncangkan kehidupan masyarakat.

Untuk maksud tersebut di atas, generasi yang akan datang perlu disiapkan sedisi mungkin. Persiapan yang efektif adalah metalui pendidikan. Sekolah memegang peranan penting dalam nicinpersiapkan mereka. Sudahkah guru-guru siap menghadapi tugas yang berat ini? Apakah lembaga-lembaga pendidikan guru sudah mempersiapkan calon-calon guru akan tugas seperti ini? Bagaimana pula halnya dengan produksi guru-guru darurat di Indonesia, yaitu beberapa program Diploma yang diselenggarakan oleh IKIP? Sempatkah calon-calon guru ini dibekali misi pendiitkan seperti ini?

Guru-guru yang memiliki Diploma dan guru-guru muda masih perlu dibina agar dapat menyadari dan melaksanakan tugasnya untuk mempersiapkan para siswa responsif dan mampu menyelesaikan masalah-masalah hidupnya kelak. Salah satu bentuk pembinaan adalah dengan memberi supervisi kepada mereka. Supervisi nampaknya lebih efektif daripada pembinaan dalam bentuk penataran, sebab supervisi membimbing langsung para guru dalam aktivitasnya sehari-hari. Apa yang diberikan oleh super visor akan langsung dipraktekkan, kesulitan-kesulitan bisa segera dikonsultasikan dan diatasi, efek pelaksanaan menjadi umpan balik bagi aktivitas berikutnya, dan kepuasan kerja akan menjadi insentif bagi para guru untuk tetap bekerja dengan baik.

Bila kita baca Laporan Umum Hasil Evaluasi Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 1982/1 983 yang dikerjakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dapat dilihat kelemahan-kelemahan pendidikan itu antara lain (h. 21-23); (1) proses belajar mengajar masih berorentasi kepada guru, (2) materi pelajaran terlalu sarat, tidak hanya diberikan yang esensial saja, kurang memperhatikan segi praktis yang penting dalam kehidupan, (3) proses berpikir yang lebih tinggi dan pemecahan masalah kurang mendapat tempat, didominasi oleh pengembangan kognisi, kurang memperhatikan pengembangan afeksi, dan (4) pengawasan yang bersifat profesional dilakukan secara kurang intensif.

Kelemahan-kelemahan tersebut di atas dapat di kurangi dengan peningkatan dan pembinaan sistem supervisi. Supervisi yang baik akan dapat membina guru-guru mengembangkan profesinya melalui aktivitas-aktivitasnya sehari-hari. Supervisi memungkinkan guru-gum dapat umpan balik secara cepat dalam memperbaiki aktivitas-aktivitasnya, memotivasi mereka untuk meiungkatkan cara kerja terutama bila dikaitkan langsung dengan sanksi jabatan, proses peningkatan din akan terjadi secara kontinu sebab supervisi berlangsung secara kontinu. Perbaikan pendidikan melalui supervisi sekaligus akan dapat menghilangkan kelemahan cara memperbaiki pendidikan lewat penataran yang dikatakan dalam hash evaluasi tersebut di atas sebagai kurang efektif.

Sejalan dengan usaha memasyarakatkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di kalangan para pegawai dan masyarakat pada umumnya, maka usaha seperti inipun seharusnya terjadi di sekolah-sekolah. Bila guru-guru dan para pegawai ditatar P4, maka hal yang sama akan diberikan kepada para siswa melalui Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Yang menjadi masalah ialah bagaimana memasyarakatkan PMP di sekolah. Apakah cukup hanya guru-gurunya ditatar, agar dapat mengajarkan PMP dengan baik? Sudah dinilai bahwa penataran-penataran kurang efektif. Oleh sebab itu seharusnya dicari jalan yang lebih baik.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa para guru pada umumnya menekankan pengetahuan tentang PMP itu, tentang fakta-fakta yang ada di dalamnya dan tentang pengertiannya. Sedikit sekali yang berusaha meningkatkan proses pendidikan itu sampai kepada pengembangan afeksi siswa, sehingga para siswa mampu menghayati dan diharapkan mau melaksanakannya. Barangkali hal ini disebabkan oleh kesulitan melaksanakan pendidikan afeksi dan menilai hasilnya. Namun apapun kesulitan yang dihadapi, kalau hal itu merupakan tujuan yang dikejar, seharusnyalah dicari pemecahannya.

Usaha untuk mengatasi kesukaran melaksanakan PMP dalam segi afeksinya beserta alat evaluasinya dapat dipikirkan oleh para ahli kurikulum dan evaluasi. Hasil pemikiran itu sesudah diuji cobakan disampaikan kepada guru-guru disertai latihan-latihan simulasi. Tetapi mereka tidak cukup diberikan informasi dan dilatih satu atau dua kali saja. Aktivitas mereka melaksanakan cara mendidik yang baru itu perlu diikuti dan dimonitor secara sistematis. Bila tidak dimonitor kemungkinan besar cara kerja mereka akan kembali seperti semula, yakni hanya mengembangkan segi kognisi para siswa saja. Pekerjaan memonitor ini dapat dilakukan secara efektif dan efisien bila supervisi sekolah ditingkatkan.

Begitu pula halnya dengan pendidikan humaniora yang baru saja digalakkan sebagai imbangan terhadap pendidikan intelek yang sudah berkembang pesat, membutuhkan supervisi yang intensif. Materi apa sebaiknya diberikan, bagaimana cara membawakannya, bagaimana bentuk-bentuk aktivitas siswa, di mana mereka sepantasnya belajar, dan sebagainya membutuhkan konsep-konsep baru dan monitor yang berkelanjutan dan pihak supervisor.

Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) menginginkan agar para siswa mencintai bangsa dan negaranya. Penataran-penataran sudah dilakukan terhadap guru-guru dan para pembinanya. Mereka diberikan metodologi pendidikan sejarah yang baru, seperti bagaimana cara menghidangkan bahan pelajaran, memilih alat-alat pengajaran yang cocok dengan bahan dan suasana belajar, cara mengevaluasi, dan sebagainya. Pendidikan ini menekankan pengembangan segi afeksi para siswa, yaitu mencintai negara, membangkitkan semangat membela dan membangun bangsa.

Untuk menjamin apa yang mereka terima dalam penataran dilaksanakan di sekolah dengan relatif tepat, perlu diadakan pengontrolan dan pembinaan secara berkala. Yang bertugas membina adalah para supervisor bidang studi sejarah. Supervisor seperti ini bisa menangani beberapa sekolah yang berdekatan.

Tugas sekolah untuk melaksanakan konsep sekolah sebagai pusat kebudayaan juga membutuhkan pengawasan dan bimbingan yang kontinu. Sebab tugas untuk menyempurnakan situasi dan kondisi belajar di sekolah tidak ringan, lebih-lebih dalam keadaan prasarana, sarana, alat-alat pendidikan, dan fasilitas lainnya yang belum lengkap.

Sekolah sebagai tempat mengembangkan siswa ialah merupakan wadah utama untuk mengembangkan kebudayaan, yaitu dalam wujud logika, etika, estetika, dan praktika, sehingga para siswa terbantu untuk menguasai pengetahuan, mampu mengadakan pilihan dan berkomunikasi secara tepat, yang mengakibatkan terbentuknya manusia pembangunan, mewujudkan peradaban bangsa, dan manusia Indonesia seutuhnya. (Daoed Joesoef, 1982, hal. 9).

Selanjutnya dikatakan oleh Daoed Joesoef (1981, h. 5) bahwa kebudayaan, pada hakikatnya, adalah sistem nilai dan ide yang dihayati oleh sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu di suatu kurun waktu tertentu..

Sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu yang dimaksud dalam pemyataan terakhir sudah tentu bangsa Indonesia di wilayah Indonesia, sebagai konsep itu diciptakan untuk meningkatkan hidup bangsa Indonesia. Untuk meningkatkan hidup dimulai sejak masa kanak-kanak. Karena sekolah merupakan suatu tempat efektif untuk maksud tersebut, maka tugas sekolah menjadi amat penting, yang diperinci sebagai tempat untuk engembangkan logika, etika, estetika, dan praktika.

Yang menjadi masalah ialah bagaimana cara mengembangkan keempat segi pendidikan itu agar seimbang, integratif, dan timal. Sarana apa dan pendidikan apa yang tepat, metode mana yang dipilih, dan model belajar yang bagaimana yang cocok, adalah merupakan problem bagi kebanyakan guru. Problem yang ihadapi tidak berhenti hanya sampai di situ saja, melainkan tambah bila kita renungkan peringatan Koentjaraningrat (1982, 10) bahwa nilai budaya yang lama yang menilai tinggi hidup yang selaras dengan alam hendaknya tidak digeser dan ditinggalkan agar tidak timbul sikap seperti yang tampak di banyak negara yang telah maju, akibat industri yang berlebihan dan gaya hidup metropolitan orang lupa akan keseimbangan hidupnya dengan aman. Membantu para siswa untuk dapat mengembangkan budiya diri untuk bangsa dengan mengikuti kemajuan ilmu dan knologi, dengan tidak boleh meninggalkan kebudayaan lain yang dapat bernilai tinggi adalah bukan tugas yang ringan. Mereka, para guru membutuhkan motivasi untuk dapat melaksanakan tantangan ini, mereka butuh bimbingan dan perhatian terus-menerus.

Walaupun konsep sekolah sebagai pusat kebudayaan sudah diusahakan operasionalnya dengan ketahanan sebagai faktor penujangnya yaitu menciptakan kondisi dinamika di sekolah yang mengandung kemampuan dan ketangguhan dalam menghadapi tatangan dan hambatan yang datang dari dalam dan luar sekolah yang dapat mengganggu proses belajar mengajar dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, (Dardji D, h. 2) para guru masih tetap perlu didampingi oleh para supervisor pendidikan. sebab konsep yang baik tidak selalu menjamin pelaksanaan yang baik pula. Justru kesulitan yang paling besar dalam pendidikan adalah melaksanakan konsep itu, bukan membuat konsep itu.

Untuk dapat melaksanakan konsep dengan baik terutama bila konsep itu merupakan ide baru, membutuhkan pengertian dan penghayatan akan makna konsep itu, membutuhkan pemusatan pemikiran dan tindakan, serta membutuhkan pengorbanan dan dedikasi yang tinggi. Cukup banyak guru yang slap melaksanakan konsep ini, tetapi masih lebih banyak yang membutuhkan dorongan dan himbauan pihak supervisor untuk tetap melaksanakannya dengan baik.

Kurikulum berubah, secara kontinu dalam rangka mempersiapkan para siswa menghadapi kehidupan yang cepat berubah dalam zaman modem ini. Lebih-lebih kurikulum di negara berkembang seperti Indonesia, banyak aspek kehidupan yang belum mantap, yang membuat sekolah sebagai wadah pembina individu tetap mencari model-model situasi belajar dan cara belajar serta bahan yang lebih tepat, guna mengejar kehidupan yang lebih baik. Karena itu bermunculanlah kreasi-kreasi besar dalam pendidikan yang dicanangkan untuk dilaksanakan oleh sekolah-sekolah. Kreasi-kreasi yang inovatif ini jelas membutuhkan uluran tangan dan pihak yang lebih tahu terhadap guru-guru sebagai pelaksananya. Bimbingan, contoh-contoh, pengawasan dan motivasi sangat diperlukan dan supervisor secara terus menerus agar ide-ide besar di atas dapat dilaksanakan. Jabatan supervisor pendidikan di Indonesia perlu diberi perhatian secara serius. Mutu dan kuantitas pejabatnya perlu ditingkatkan agar dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.

Fungsi dan tujuan supervisi.

Istilah fungsi dan tujuan cukup sulit dibedakan seba seringkali satu objek dapat diterangkan dan segi fungsi dan dapat pula dari segi tujuan. Atau fungsi dan tujuan sesuatu dapat berup satu objek. Misalnya yang menjadi objek adalah tamu; tamu itu dapat dihubungkan dengan ruang tamu yang mempunyai fungsi dan sekaligus mempunyai tujuan. Ruang tamu sebagai bagian dari rumah berfungsi memberi tempat tertentu kepada tamu yang berkunjung di rumah. Sementara itu ruang tamu juga memberi tujuan agar para tamu mendapat tempat layak dan merasa senang bertamu. Walaupun sulit dibedakan, dengan bantuan contoh di atas bisa dipahami bahwa fungsi berhubungan dengan sistem (rumah sebagai kesatuan) dan tujuan berhubungan dengan apa yang ingin dijangkau oleh subsistem (ruang tamu) itu.

Supervisor sebagai fungsi, bila ia dipandang sebagai bagian atau organ dan organisasi sekolah. Tetapi bila dipandang dan apa yang ingin dicapai supervisi, maka hal itu merupakan tujuan supervisi. Fungsi dan tujuan supervisi berhubungan erat, keduanya menyangkut hal yang sama. Hal ini dibedakan agar informasi yang diberikan menjadi lebih lengkap.

Huse (1972, h. 265) mengatakan supervisi hanya sebagai satu fungsi yaitu fungsi manajemen, ialah pengarahan yang terdiri dan inisiatif dan kepemimpinan, pengaturan dan pembimbingan, pemberian motivasi, dan pengawasan. Tetapi literatur lain menunjukkan beraneka ragam fungsi, dengan istilah yang berbeda-beda antara lain tugas, fungsi, pelaksanaan, dan sejenisnya. Fungsi supervisi pendidikan akan disusun secara sistematis sebagai uraian herikut.

Fungsi supervisi dapat dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu:

3. Fungsi utama ialah membantu sekolah yang sekaligus mewakili pemenintah dalam usaha memcapai tujuan pendi dikan yaitu membantu perkembangan individu para siswa.

4. Fungsi tambahan ialah membantu sekolah dalam membina guru-guru agar dapat bekerja dengan baik dan dalam mengadakan kontak dengan masyarakat dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat serta mempelopori kemajuan masyarakat.

Masing-masing fungsi tersebut di atas diuraikan secara terperinci seperti benikut. Yang termasuk fungsi utama ialah : Pertama,supervisi merupakan teman seperjuangan administrasi, secara fungsional tidak terpisah satu dengan yang lain, keduanya terkoordinasi, berkorelasi, saling melengkapi, dan saling menunjang dalam melaksanakan sistem pendidikan. (Sergiovanni, 1971, h.4-5)

Kedua, supervisi mengkoordinasi personalia sekolah terutama guru-guru dan aktivitas-aktivitas sekolah agar tidak jauh menyimpang dan perencanaan semula. Hasil perencanaan pada umumnya tidak dapat dilaksanakan secara tepat sejak awal. Penyimpangan-penyimpangan itu diminimalkan dengan cara mengadakan supervisi kontinu terhadap pengaturan tugas guru dan aktivitas-aktivitas sekolah dengan segala aspeknya. Usaha ini merupakan preventif terhadap kemungkinan kekacauan pelaksanaan program sekolah.

Ketiga, sebagai wakil pemerintah, khususnya Pemerintah Indonesia, sekolah berkewajiban memasyarakatkan di kalangan personalia sekolah dan memasyarakatkan PMP di kalangan para siswa, karena keduanya merupakan manifestasi dan falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Karena itu patut menjadi bagian dan kehidupan sehari-hari di sekolah atau sebagai cara bertingkah laku di sekolah. Hal ini dapat dilakukan lebih efektif dengan bantuan supervisi.

Keempat, sebagai wakil pemerintah sekolah akan melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah. Kebijakan Pemerintah Indonesia misalnya ialah menciptakan sekolah sebagai pusat kebudayaan yang didukung oleh ketahanan sekolah, meningkatkan pendidikan humaniora untuk mengimbangi pendidikan intelek, meningkatkan pendidikan Sejarah Indonesia untuk menggalang kecintaan dan semangat bangsa di kalangan para siswa, melayani anak-anak yang berbakat, dan sebagainya. Untuk memahami ke bijakan-kebijakan itu secara lebih mendalam diperlukan bantuan, begitu pula pelaksanaannya membutuhkan monitoring kedua duanya dan pihak supervisor.

Kelima, supervisi memperlancar proses belajar mengajar. Ada beberapa segi dan proses intruksional yang perlu mendapat perhatian para supervisor, yaitu:

6. Perencanaan instruksional yang menyangkut segala aspek belajar mengajar yang akan dilaksanakan oleh para siswa dan guru-guru. Perencanaan perlu disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai, situasi sekolah, sumber-sumber pendidikan yang tersedia, dan para siswa yang akan dididik.

7. Model belajar yang mungkin dilaksanakan. Model tersebut antara lain di depan guru di sekolah, belajar dengan media pendidikan di sekolah, campuran dan kedua model di atas, belajar dengan media pendidikan di luar gedung/halaman sekolah, belajar dengan media pendidikan di sekolah, dan sebagainya. Setiap model belajar perlu dipertimbangkan keuntungan dan hambatannya.

8. Sarana dan alat-alat pendidikan yang perlu disiapkan, metode belajar dan metode mengajar yang cocok yang perlu dipilih. Tidak ada perlengkapan belajar dan metode mengajar yang cocok untuk semua bidang studi. Setiap bidang studi membutuhkan alat dan metode sendiri-sendiri.

9. Situasi belajar yang bagaimana yang cocok untuk mempelajari bidang studi tertentu. Situasi belajar yang dibutuhkan perlu diciptakan dan dipertahankan selama proses belajar berlangsung.

10. Macam evaluasi yang akan dilakukan dan alat evaluasi program, proses belajar mengajar, dan prestasi belajar. Alat evaluasi bisa bersifat uraian bisa juga bersifat obyektif dengan bermacam-macam bentuk.

Keenam, para supervisor hendaknya mengendalikan usaha untuk mendidik para siswa agar setiap siswa berkembang secara total, yaitu setiap aspek individu anak berkembang seimbang, harmonis, dan optimal. Daoed Joesoef (1982, h. 9) mengatakan perkembangan seperti ini mencakup logika, estetika, dan praktika. Sedangkan literatur barat menyebutkannya sebagai afeksi, kognisi, psikomotor.

Ketujuh, setiap siswa dikatakan unik, artinya memiliki minat, bakat, dan kemampuan tersendiri tidak pernah sama dengan individu lain. Perkembangan masing-masing siswa mi perlu di layani dan disalurkan, diberi wadah, dan dibina sesuai dengan minat/bakat dan tingkat kemampuannya. Siswa yang mempunyai kemampuan tinggi disalurkan ke perguruan tinggi, sedangkan yang mempunyai kemampuan, biasa diarahkan ke dunia kerja sesuai dengan bakat mereka masing-masing. Guru dalam mengatur program dan belajar siswa untuk maksud di atas, sangat membutuhkan bantuan pemikiran supervisor.

Kedelapan, bimbingan karier tersebut di atas sangat erat hubungannya dengan tugas Badan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Di samping itu badan ini juga mengurusi kesulitan belajar para siswa dan kesulitan-kesulitan pribadi mereka. Pekerjaan seperti itu bagi guru tidaklah mudah, namun demikian setiap guru pada bakikatnya adalah Guru Pembimbing. Mereka tidak boleh menyerahkan tugas itu semuanya kepada petugas bimbingan dan konseling. Kesulitan para guru ini bisa dikurangi dengan hadimya supervisor di bidang bimbingan dan konseling.

Fungsi supervisi tambahan yaitu tidak secara langsung menyangkut proses belajar mengajar di sekolah adalah sebagai berikut: Pertama, memotivasi guru agar tetap bekerja dengan baik bukanlah pekerjaan yang mudah Kepala sekolah bekerja sama dengan para supervisor melaksanakan tugas ini secara teori setiap pejabat profesional, termasuk guru, harus tetap berdedikasi kepada tugasnya pada setiap situasi dan kondisi. Tetapi kenyataannya dalam praktek tidaklah seperti itu. Para guru masih tetap membutuhkan motivasi dan luar dirinya agar tetap dapat bekerja dengan baik.

Kedua, memberi dorongan kepada guru agar tidak bekerja secara monoton suatu cara kerja yang tetap yang tidak ada perubahan dan waktu kewaktu, juga tidak gampang. Pada umumnya cara bekerja guru akan berubah kalau ada aturan atau kurikulum baru yang menghendakinya. Tetapi perubahan cara bekerja yang datang dan inisiatif dan kreatif guru itu sendiri tidak banyak diketemukan. Adalah menjadi kewajiban para supervisor untuk membangkitkan inisiatif guru agar kreatif mencari cara-cara baru yang lebih baik membimbing siswa belajar.

Ketiga, para supervisor sudah sepantasnya menjadi teladan bagi guru-guru dalam membawa diri sebagai pendidik, terutama kemauan, semangat bekerja, dan kepribadian. Cara ini cocok diterapkan di Indonesia sebab sesuai dengan adat kebiasaan kita. Suatu kebiasaan masyarakat suka meniru penilaku yang dipandang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, merasa perlu berperan kepada orang-orang senior atau berpangkat tinggi (Koentjaraningrat, 1982, h, 10).

Keempat, para supervisor perlu menegakkan disiplin kerja guru-guru, dengan memberi contoh dengan pengawasan beserta sanksi-sanksinya. Sanksi bisa dihubungkan dengan hukuman jabatan Bagi guru yang memiliki disiplin baik perlu diberi insentif.

Kelima, penelitian dalam batas-batas kemampuan sekolah untuk dibina dan ditingkatkan di sekolah, terutama penelitian-penelitian tentang pengembangan kurikulum dan pengembangan bidang studi. Penelitian ini bisa dilaksanakan oleh guru dibantu siswa-siswanya. Sedangkan para supervisor bisa bertindak sebagai konsultan.

Keenam, kepala sekolah bersama supervisor menghimbau guru-guru agar mau berusaha meningkatkan profesinya. Mereka carikan jalan agar dapat belajar lagi secara formal, mengikuti penemuan-pertemuan ilmiah, dan penataran-penataran. Diskusi-diskusi antara guru di sekolah ditingkatkan, referensi ilmiah diperbanyak, dan klub-klub bidang studi dibentuk.

Ketujuh, supervisor juga mempunyai kewajiban menghubungkan sekolah dengan masyarakat. Sekolah perlu membuka pintu terhadap masyarakat, sebab sekolah juga tanggung jawab masyarakat, Sekolah perlu mempertimbangkan tuntutan masyarakat, menyesuaikan, diri kepadanya walaupun sekolah juga berkewajiban menjadi agen pembaharuan masyarakat.

Kedelapan, supervisor juga menjadi agen informasi pendidikan yang bersumber dari luar sekolah. Terutama informasi dan masyarakat luas dengan perubahan-perubahannya yang serba cepat. Informasi-informasi itu perlu segera ditenima oleh sekolah, agar sekolah tidak terlambat mempersiapkan diri menghadapi dinamika sosial, informasi-informasi dan sekolah lain tentang aktivitas-aktivitas pendidikan yang patut dicontoh juga perlu di sampaikan ke sekolah sebagai bahan pertimbangan dalam memperbaiki mutu pendidikan.

Sesudah membahas tentang fungsi-fungsi supervisi, maka sampailah uraian ini kepada tujuan supervisi. Tujuan supervisi menurut Sergiovanni (1971, h. 6) ialah :

5. Tujuan akhir adalah untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan para siswa (yang bersifat total). Dengan demikian sekaligus akan dapat memperbaiki masyarakat.

6. Tujuan kedua ialah membantu kepala sekolah dalam menyesuaikan program pendidikan dan waktu ke waktu secara kontinu. (Dalam rangka menghadapi tantangan - perubahan zaman).

7. Tujuan dekat ialah bekerja sama mengembangkan proses belajar mengajar yang tepat. Tujuan-tujuan tersebut perlu ditambah dengan :

8. Tujuan perantaraan ialah membina guru-guru agar dapat mendidik para siswa dengan baik, atau menegakkan disiplin kerja secara manusiawi.

Supervisi pada zaman sekarang

Yang dimaksud dengan supervisi pada zaman sekarang ialah teori supervisi yang dipandang baik pada abad ke-20 ini, yang sering pula disebut supervisi modern. Supervisi ini mempunyai ciri-ciri dinamis dan demokratis yang merefleksikan vitalitas pemahaman dan kepemimpinan yang berbobot (Neagly, 1980, h.1). Lebih jauh karakteristik supervisi modern dikatakan sebagai berikut (h. 4-7).

Pertama, menciptakan dan mempertahankan antar hubungan yang memuaskan di antara semua anggota staf. Kondisi seperti ini merupakan dasar yang paling utama dalam melaksanakan supervisi. Sebab supervisi adalah merupakan suatu proses yang menyangkut aktivitas-aktivitas individu di sekolah. Individu sukar dibina bila tidak didasari oleh pengenalan dan hubungan yang akrab.

Manfaat pembinaan guru-guru dan personalia lainnya di sekolah oleh supervisor tidak jauh berbeda dengan manfaat pembinaan kebiasaan hidup anak-anak dalam keluarga atau manfaat pembinaan Mien dalam konseling. Ketiganya bemilai positif dalam meningkatkan perkembangan mereka. Begitu pula proses pembinaan itu hampir sama di antara ketiga macam hubungan tadi. Orang tua yang tidak bisa bergaul akrab dengan anak-anaknya lebih banyak kemungkinan menghadapi tantangan dan anak-anak itu. Perbedaan pendapat antara anak dan orang tua sukar didamaikan. Pertentangan seperti ini lebih sering terjadi terhadap bapak dari pada terhadap ibu. Apa sebab? ialah karena sifat alamiah ibu lebih akrab dengan anak-anaknya. Sehingga pada umumnya ibu lebih berhasil membina anak dari pada bapak. Begitu pula halnya dalam proses konseling, bila hubungan konselor dengan Mien belum akrab sangat sukar untuk mendapatkan informasi-informasi atau pe ngakuan-pengakuan yang sifatnya pribadi dan klien, sehingga proses konseling tidak bisa efektif. Keakraban hubungan merupakan modal bagi keberhasilan konseling.

Dalam supervisi pendidikan hubungan supervisor dengan personalia sekolah terutama guru-guru juga merupakan modal bagi keberhasilan supervisi. Hubungan tersebut hendaklah bersifat ter buka, tidak ada yang dirahasiakan, mau dan berani menegur serta tidak tersinggung bila ditegur. Itulah yang disebut hubungan bersifat persahabatan, suatu hubungan yang bersifat informal. Dengan sifat hubungan seperti itu diharapkan semua guru atau personalia sekolah akan memberikan konstribusinya kepada proses pendidikan.

Karakteristik yang kedua ialah demokratis. Istilah demokratis dikatakan mencerminkan dinamika, dapat mengerti atau memahami, sensitif, dan memegang peranan kepemimpinan. Supervisi yang dinamis ialah supervisi yang aktif, kreatif, dan banyak inisiatif dalam melaksanakan fungsinya. Suatu supervisi yang tidak hanya mengamati, mengontrol, mengkritik, dan menilai saja, tetapi jauh lebih luas daripada itu. Supervisi seperti ini ikut merencanakan agar proses belajar memberi hasil yang baik, membantu menciptakan kondisi belajar yang baik, memomtor guru-, guru agar tidak sampai terlanjur jauh berbuat salah, mencari sebab sebuah kesalahan, memberi saran, dan membimbing. Supervisor tidak hanya mencari kesalahan guru, tidak pula hanya memperbaiki kesalahan guru, tetapi juga berusaha mengadakan preventif agar guru-guru sedikit mungkin berbuat salah. Hal ini dilakukan dengan bernacam-macam cara sesuai dengan problem yang dihadapat itulah sebabnya mengapa supervisor itu perlu aktif, kreatif, dan berinisiatif.

Untuk mempermudah pelaksanaan tugas, supervisor perlu mengerti atau memahami kepribadian setiap guru. Setiap guru atau personalia sekolah adalah unik. Supervisor perlu memahami keunikan setiap individu yang dibinanya. Pemahaman terhadap individu merupakan strategi bagi supervisor dalam aksinya mempengaruhi, mengarahkan, dan memotivasi individu tersebut. Setiap guru membutuhkan teknik pembinaan tersendiri sesuai dengan eunikan mereka masing-masing.

Supervisor membutuhkan kesensitivan dalam berkomunikasi dengan guru-guru. Kesensitivan atau kepekaan ini juga merupakan alat bagi supervisor dalam memudahkan memilih cara yang dipakai menghadapi guru-guru dalam usaha membina mereka. Supervisor harus peka terhadap situasi dan kondisi yang sedang dihadapi guru, harus peka terhadap masalah yang dihadapi guru, dan harus peka ia terhadap suasana hati guru yang akan dia bina. Dengan pekaan ini supervisor cepat tahu apa yang terkandung dalam hati guru yang sedang dihadapinya. Pengetahuan ini memberi jalan baginya untuk mengatur strategi lebih lanjut.

Supervisor yang sensitif dan dinamis menunjukkan padanya sebagai pemimpin yang berbobot. Sebab tidak ada arti kalau hanya peka terhadap situasi, paham terhadap pribadi anak buah, dan aktif tanpa memanfaatkan pengetahuan itu untuk pentingan tugas membimbing bawahan. Pemanfaatan pengetahuan itu untuk kepentingan tugas supervisi tidak lain daripada mimpinan yang dilakukan oleh supervisor itu sendiri.

Supervisor dengan kepemimpinannya akan berusaha mengadakan akan kerjasama dengan guru-guru dan personalia sekolah lain dalam usaha meningkatkan proses belajar mengajar di sekolah. Supervisor berusaha menciptakan suasana yang kondusif, sehingga memungkinkan saling memberi dan saling menerima. Dalam situasi ini tidak ada satupun yang mendominasi kelompok. Setiap anggota kelompok merasa berharga karena dihargai. Mereka semua merasa bahwa sekolah itu adalali milik mereka bersama. Situasi dan perasaan seperti ini memungkinkan penyelesaian suatu masalah diskusi bisa berjalan lancar dan keputusan dapat diambil secara konsensus.

Supervisi secara demokratis tersebut di atas tidak mudah di[raktekkan. Dalam pertemuan-pertemuan pendidikan antara atasan sebagai supervisor dengan bawahan di Indonesia sangat langka dapat dijumpai proses demokrasi di atas. Pada umumnya kelompok masih didominasi oleh pemimpin. Mungkin hal ini disebabkan oleh kebudayaan kita seperti diuraikan dalam bab I, bahwa masyarakat cenderung meniru pemimpinnya. Hal ini dibenarkan oleh hasil penelitian Beeby (1979, h.86) yang mengatakan bahwa sikap guru-guru di Indonesia bersifat tradisional yang otoriter, yaitu menunggu instruksi atasan untuk mengadakan perubahan. Bila kita sepakat bahwa sikap itu keliru, bagaimanakah usaha para supervisor untuk memperbaikinya?

Karakteristik supervisi modern yang ketiga adalah komprehensif. Suatu supervisi yang berlangsung mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan sekolah menengah tingkat atas yang mencakup beberapa sekolah untuk wilayah tertentu. Bentuk dan isi supervisi untuk tingkat-tingkat sekolah itu tidak boleh berbeda beda. Kesamaan ini dimaksudkan untuk menjamin kontinuitas kurikulum sekolah dari taman kanak-kanak sampai dengan sekolah menengah tingkat atas. Hal ini akan memudahkan para siswa mengembangkan diri melalui kurikulum tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa pertumbuhan dan perkembangan siswa secara berarti sebagian besar terjadi melalui proses belajar mengajar di sekolah. Metode belajar yang dikoordinasi oleh guru ikut menentukan kelancaran perkembangan siswa. Selain itu setiap siswa membutuhkan waktu untuk dapat mengikuti cara belajar tertentu yang diintroduksi oleh guru. Cukup sulit bagi siswa kalau ia sudah biasa belajar dengan cara aktif sendiri melakukan sesuatu ke cara belajar dan pembaca buku saja misalnya. Contoh yang mirip seperti ini terjadi di Indonesia pada masa peralihan dari taman kanak-kanak ke sekolah dasar (baca Hasil Evaluasi, 1982/1983, h. 17). Itulah sebabnya perlu diusahakan kesamaan metode belajar mengajar dan tingkat sekolah yang paling rendah sampai ke tingkat yang paling tinggi.

Kesamaan metode belajar mengajar di sini tidak berarti persis sama untuk semua tingkat sekolah dan semua bidang studi, melainkan yang sama adalah prinsipnya. Misalnya semua menggunakan prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktit), sehingga belajar siswa dari satu tingkat sekolah ke tingkat yang lain menjadi lancar Sebab sudah biasa dengan CBSA. Begitu pula materi yang dipelajari ara prinsip harus sama, yaitu dapat menunjang pembentukan manusia seutuhnya, hanya tingkat kesukarannya yang perlu berbeda.

Kesamaan kurikulum tersebut di atas bisa dicapai secara aktif bila dimonitor lewat supervisi yang komprehensif, baik secara vertikal dan taman kanak-kanak sampai dengan sekolah menengah tingkat atas, maupun secara horizontal dalam tingkatkat sekolah dalam wilayah-wilayah tertentu. Bila supervisi di ayah-wilayah itu terkoordinasi satu dengan wilayah lainnya, maka akan diperoleh kesamaan kurikulum seluruh wilayah negara.

Selain supervisi komprehensif ditujukan kepada kurikulum, ia juga komprehensif terhadap personalia sekolah. Artinya persolan sekolah yang mencakup kepala sekolah, para guru, para pegawai tatausaha, dan juga parasiswa, semua dikoordinasi aktivitasnya untuk memperbaiki aspek-aspek belajar siswa. Semua perhatian personalia sekolah, terutama guru-guru, diarahkan ada pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan.

Sehubungan dengan uraian di atas, Marks membuat perbandingan supervisi tradisional dengan supervisi modern yang ia kutib dari Burton dan Brueckner sebagai berikut (1978, h. 12). supervisi tradisional ialah (1) menginspeksi, (2) terpusat pada guru (3) berkunjung dan berdiskusi, (4) perencanaan yang sederhana , (5) memergoki dan otoriter, dan (6) biasanya oleh satu orang. Sedangkan supervisi modern ialah (1) pragmatis dan menganali sis (2) terpusat pada tujuan, materi, teknik, metode, guru, siswa, ligkungan (3) melaksanakan beraneka ragam fungsi, (4) perencanaan dan organisasi yang jelas dengan tujuan yang khas, (5) Motivasi dan bekerjasama, dan (6) oleh orang banyak. Perbandingan akan memperjelas apa yang dimaksud dengan super yang hersifat komprehensif. Inilah merupakan karakteristikterakhir dari supervisi modern menurut pandangan Neagley.

Sergiovanni membedakan supervisi tradisional dengan supervisi modern dari segi perlakuan terhadap personalia sekolah, yang disebut sebagai variabel perantara (mediating variables). Supervisi tradisional tidak memakai variabel ini, sebaliknya supervisi modern mempergunakannya yang membuat lebih berhasil sebab variabel ini bertindak sebagai variabel moderator terhadap kesuksesan sekolah (1971, h. 16-18)

Ada tiga variabel dalam hubungan dengan supervisi didikan. Variabel-variabel tersebut ialah variabel awal (initiating variables) yang mencakup:

6. Supervisor yang memegang referensi untuk teman-teman nya, para bawahan, dan dirinya sendiri,

7. Pola-pola penlaku administrasi dan supervisi.

8. Elemen-elemen struktur organisasi.

9. Sistem otoritas.

10. Tujuan sekolah dengan pola untuk mencapainya.

Variabel kedua ialah variabel perantara yang mencakup:

9. Sikap guru dan personalia sekolah lainnya terhadap jabatan, dan antar hubungan mereka.

10. Tingkat kepuasan bekerja.

11. Komitmen staf terhadap tujuan sekblah.

12. Gambaran tujuan sekolah yang dimiliki oleh guru-guru.

13. Tingkat kesetiaan guru-guru.

14. Kepercayaan dan keakraban antar personalia sekolah.

15. Kemauan untuk mengontrol pekerjaan sendiri.

16. Fasilitas untuk berkomunikasi

Vanabel ketiga ialah variiabel kesuksesan sekolah yang mencakup :

9. Tingkat performan guru-guru dan personalia sekolah lainnya.

10. Tingkat performan para siswa.

11. Tingkat perkembangan dan pertumbuhan para siswa.

12. Peningkatan organisasi personalia sekolah.

13. Laju presensi dan absensi staf.

14. Laju absensi dan dropout para siswa.

15. Kualitas hubungan sekolah dengan masyarakat.

16. Kualitas hubungan personalia sekolah.

Dikatakan lebih lanjut bahwa supervisi tradisional hanya mengejar kesuksesan jangka pendek saja, dengan bertitik tolak pada variabel awal tanpa menghiraukan variabel perantara. Itulah sebabnya kesuksesan mudah lenyap sebab semangat pelaksanalaksananya mudah memudar.

Menyadari kelemahan supervisi tradisional tersebut di atas, maka supervisi modern meletakkan kunci penggeraknya pada organisasi personalianya yaitu para pelaksana yang dikatakan di atas sebagai variabel perantara, walaupun diakui bahwa variabel juga dipengaruhi dan ditentukan oleh variabel awal. Namun tidak dapat disangkal bahwa variabel perantara ini mampu mengadakan intervensi terhadap proses belajar mengajar di sekolah yang membuat pendidikan bisa maju atau mundur. Dapat dikatakan kemajuan suatu pendidikan sebagian besar ditentukan oleh kehadiran variabel perantara yang positif.

Variabel perantara yang terdiri dari sikap, kepuasan bekerja, komitmen, kesetiaan, dan sebagainya, merupakan dasar dedikasi seorang guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah. Bila hal ini dihubungkan dengan pengertian sikap dari Aliport yang mengatakan bahwa sikap adalah proses mental individu yang menentukan respon potensial dan aktual di dalam dunia sosial (Made Pidarta, ), Ii. 17), maka bisa diteriima variabel ini sebagai kunci keberhasilan atau kegagalan sekolah. Sebab sikap sebagai salah satu dasar dedikasi seseorang akan menentukan apa yang ingin dilakukan orang itu dan bagaimana perilakunyata orang tersebut.

Menyadari hal ini, yang pertama-tama ditangani oleh supervisor modern ialah organisasi personalia sekolah yaitu orang-orang yang melaksanakan pendidikan itu. Supervisor berusaha menghadirkan variable perantara itu pada diri setiap guru dan personalia sekolah lainnya. Dengan cara ini mungkin kesuksesan pendidikan tidak segera akan nampak, tetapi secara berangsur-angsur dalam jangka panjang sangat mungkin akan tercapai. Lagi pula kesuksesan seperti itu akan lama bertahan, bahkan cara ini dapat dipandang sebagai strategi untuk melestarikan kesuksesan pendidikan.

Menaruh perhatian pertama pada organisasi personalia sekolah berarti memperhatikan gairah kerja mereka. Untuk mendapatkan kegairahan bekerja perlu melayani apa yang membuat para guru bermotivasi untuk bekerja dengan baik. Hal ini sudah di uraikan dalam bab I antara lain dengan memberi kesempatan kepada mereka kreatif, memajukan bidang studi yang dipegang, meningkatkan kompetensi mengajar, menghargai penemuan-penemuan mereka, dan sebagainya. Mereka perlu diberi kesempatan mengembangkan atau memajukan proses belajar mengajar sendiri yang cocok dengan bidang studi yang mereka pegang.

Lucio menyebutkan cara mengembangkan proses belajar mengajar sendiri sebagai metode intelegensi praktis (1979, h. 13- 18). Suatu metode sendiri yang dicari di lapangan dengan penelitian-penelitian dan diskusi-diskusi dengan teman guru. Kebenaran metode ini harus ditest pada cara membantu siswa belajar secara efektif. Metode ini dia pertentangkan dengan metode rasional, yang bertitik tolak pada logika bukan pada fenomena emperis yang ada di lapangan. Metode kedua ini memandang ilmu yang membicarakan proses belajar mengajar sudah siap pakai, tidak perlu direvisi, Guru yang akan memakainya tinggal memasangkan medan tenpa belajar dan materi yang dipelajari siswa dengan salah satu metode yang sudah ada. Alat yang dipandang paling ampuh untuk mencocokkan medan dengan metode itu adalah logika guru.

Bila metode intelegensi praktis yang akan dipilih untuk menimbulkan kegairahan guru mengajar, konsekuensinya para supervisor harus mampu membimbing para guru cara menemukan metode-metode belajar mengajar yang baru itu. Cara itu mengikuti metode analisis ilmiah yang dipelopori oleh John Dewey, yaitu dengan mengajukan hipotesis, mengobservasi di lapangan, menguji hipotesis dan menginterprestasi, akhirnya merumuskan metode yang baru.

Misalnya guru ingin menemukan metode belajar mengajar. Lingkungan Hidup yang efektif, yang dapat membuat para siswa sadar akan pentingnya memelihara lingkungan hidup, paham akan caranya, dan mau melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini supervisor akan memberi kesempatan dan mendorong guru yang bersangkutan untuk mengadakan studi literatur untuk membentuk hipotesis, kemudian membuat rancangan ksperimen kecil-kecilan, mengobservasi dan menilai fakta, kemudian menentukan keberhasilan eksperimen tersebut. Hasil ini yang akan menentukan apakah metode belajar mengajar yang baru itu dipakai atau tidak.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa supervisi modern adalah supervisi yang memperhatikan antar hubungan personalia sekolah, menghargai dan menghayati kepribadian, bakat, dan kemampuan mereka masing-masing. Penghargaan dan pengetahuan ini merupakan suatu strategi dalam membina profesi mereka pendidik, yang dilakukan dengan metode intelegensi yang bersifat demokratis. Supervisi dilakukan secara komprehensif yaitu dengan cara menyamakan, prinsip-prinsip yang dipakai dalam proses belajar mengajar dan prinsip-prinsip materi baik secara vertikal maupun secara horizontal.

Teori supervisi modern tersebut di atas mungkin mengundang pertanyaan, apakah teori itu dapat diterapkan di lapangan dalam arti cocok dengan situasi dan kondisi pada zaman sekarang yang dikatakan sebagai zaman modern? Apakah guru-guru bisa dimanfaatkan untuk mengintervensi kemajuan pendidikan ? Apakah semua guru aktif, dinamis, mau bekerja keras tanpa pamrih ? Apakah semua bersikap profesional dalam arti bertekad meningkatkan profesinya setinggi-tingginya? Berapa banyak gurukah yang dapat melepaskan diri dari adat tradisional otoriter seperti dikemukakan Beeby dalam hasil penelitiannya di Indonesia? Berapa banyakkah pemimpin pendidikan mampu melaksanakan prinsip demokrasi secara murni dalam rapat-rapat kerja di lingkungannya masing-masing?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab melalui observasi di lapangan sebelum melaksanakan supervisi modern itu. Jawaban pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan menentukan apakah supervisi itu bisa dilaksanakan atau tidak. Atau dapat dibentuk model supervisi khusus untuk Indonesia. Nampaknya yang dikatakan oleh Robbins bahwa kita atau supervisor tidak perlu terlalu ketat bercermin kepada teori dalam melaksanakan tugas tugasnya (1982, h. 102) memang benar. Manfaatkanlah realita yang ada sekarang untuk mencapai hasil yang sebesar-besarnya, yaitu kesuksesan dalam bidang peñdidikan.

Bila guru-guru dan personalia sekolah lainnya belum siap melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi karena masih terikat kepada tradisi, bila mereka belum siap berdiri sendiri mengembangkan profesinya, supervisor masih dibënarkan melaksanakan tugas yang bersifat semi otoriter, yang penting adalah tujuan pendidikan harus tercapai. Dikatakan semi otoriter sebab secara perlahan-lahan para supervisor perlu menegakkan demokrasi di sekolah-sekolah yang belum menunjukkan demokrasinya. Sebab dengan tegaknya demokrasi lebih mudah membina guru mengembangkan profesinya secara mandiri.

Kecenderungan supervisi pada masa mendatang

Ada beberapa ramalan tentang bagaimana kemungkinan supervisi pada masa yang akan datang. Di antara ramalan itu akan dikemukakan dua macam, yang satu meninjau supervisi dari sudut profesional guru, sedang yang lain meninjau dari sudut politik negara. Atau yang satu melihat kecenderungan supervisi terpusat pada pengembangan profesi pendidik, yang lain melihat kecenderungan itu bertitik pusat pada politik pada politik negara.

Kecenderungan-kecenderungan supervisi yang baru dan mungkin yang terus berkembang pada masa akan datang dalam membina para guru disebabkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang begitu pesat. Perkembangan seperti ini akan membuat dunia beserta masyarakatnya akan berubah dengan cepat pula. Masyarakat yang akan datang mungkin sudah berbeda dengan masyarakat sekarang. Anak-anak yang akan menjadi anggota masyarakat pada masa mendatang perlu dipersiapkan secara awal. Tugas mempersiapkan anak itu sebagian besar dipegang oleh guru- guru di sekolah. Oleh karena itu guru dipandang perlu memiliki wawasan dan keterampilan baru dalam membimbing siswa-siswa agar mereka kelak dapat menghadapi dan menyelesaikan tantangan-tantangan sosial yang kompleks dan dinamis.

Untuk mencapai maksud di atas membutuhkan tipe supervisi yang baru (Marks, 1978, h. 94). Supervisi tersebut lebih mememusatkan dari pada pengembangan profesi dan bakat guru serta memanfaatkannya untuk kepentingan kemajuan pendidikan daripada memberi konsultasi langsung kepada guru-guru, membina agar mereka bisa memimpin diri sendiri, tidak bergantung kepada pengarahan dari luar, dan percaya kepada sumber-sumber pendidikan yang diperoleh sendiri. Supervisor juga menanamkan pengertian program sekolah yang baru kepada guru-guru dalam usaha menyiapkan para siswa menghadapi kehidupan yang semakin keras.

Jadi pengembangan calon-calon anggota masyarakat di masa yang akan datang yang akan menghadapi dan membina dunia baru diserahkan kepada kebijaksanaan dan kreativitas para guru sebagai ahli-ahli didik. Sementara itu kewajiban supervisor adalah membimbing para guru agar dapat menjalankan misi tersebut yang dibebankan kepadanya dengan baik.

Sementara Marks nampak membatasi diri pada dunia pendidikan (1979, h.18) rupanya menghubungkan pendidikan dengan situasi dunia sekarang, khususnya dalam bidang politik, Lucia melihat kecenderungan-kecenderungan sekolah pada masa yang akan datang lebih banyak dikontrol oleh negara. Negara memandang pendidikan merupakan suatu alat yang vital untuk menegakkan serta memajukan nusa dan bangsa. Hal ini memang penting bila dihubungkan dengan situasi dunia yang penuh dengan usaha merebut pengaruh dan persaingan kekuatan di antara dua negara raksasa. Pemerintah memandang perlu untuk mengawasi usaha-usaha sekolah agar anggota masyarakat yang diproduksi mampu mempertahankan kedaulatan negara, berdiri sendiri, dan tidak hanyut oleh pengaruh negara lain.

Bila demikian halnya, maka supervisor akan nampak kehilangan fungsinya yang sebenarnya, ia akan berada di antara sebagai alat negara dan sebagai profesional. Karèna itu disarankan peranan supervisor sabagai berikut (h. 19)

8. Sebagai perantara dalam menyampaikan minat para siswa, orang tua, dan program sekolah kepada pemerintah dan badan-badan lain.

9. Memonitor penggunaan dan hasil-hasil sumber belajar.

10. Merencanakan program untuk populasi pendidikan yang baru.

11. Mengembangkan program baru untuk jabatan baru yang mungkin muncul.

12. Mengkombinasikan program yang diajukan perdagangan, dan industri.

13. Menilai dan meningkatkan pengertian gaya kehidupan.

14. Memilih inovasi yang konsisten dengan masa yang datang.

Ramalan yang sifatnya menjangkau terlalu jauh kepada yang akan datang seringkali tidak tepat. Pengajaran dengan mesin yang diramalkan pada tahun 1960-an akan menguasai pendidikan, temyata hal itu tidak terjadi sampai sekarang (Rol 1982, h.152). Oleh sebab itu membuat ramalan dalam bidang visi pendidikan, khususnya di Indonesia, tidak perlu menjangkau terlalu ke depan. Cukup setiap awal Pelita (Pembangunan Lima Tahun merumuskan model supervisi yang baru atau yang diperbaharui berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau dan antisipasi satu Pelita. Model ini bisa direvisi pula setiap tahun.